BANUANG
Banuang
menari dengan kenes, dengan penuh penghayatan seakan tariannya hanya ia yang
punya. Matanya kadang tertutup, namun jika terbuka ia seakan menantang dunia.
Sudah setahun ini ia belajar menari kepada Indo Basse’, tapi bakatnya memang
sudah ada sejak ia lahir. Ia lahir dari rahim penari kampung yang sayangnya tak
sempat melihat Banuang melentikkan tangannya kepada dunia.
***
Banuang
menyusuri sungai ingin pulang ke rumah, rumah yang dihuni oleh ia dan ayahnya
yang pandai besi. Banuang berhati-hati memijakkan kakinya pada bebatuan, takut
terpeleset dan terbawa arus. Tapi Banuang kadang menari di bebatuan, menganggap
itu panggung yang biasa dipijakinya. Banuang tak sadar ada yang
memerhatikannya, tepat di belakangnya.
“Apa
yang kau lakukan sampai sesore ini Banuang, Bapak sudah lapar” Sinrili’ berkata
kesal sambil mengasah parang yang baru dibuatnya. Banuang takut dengan parang,
dia selalu bermimpi ayahnya menggorokkannya di leher, mimpi yang ia tanggung
beberapa bulan ini dan kadang menghampirinya.
“Maafkan
Nuang pak” Banuang kemudian berlalu menuju dapur untuk segera menyiapkan
makanan. Banuang tak terlalu dekat dengan bapaknya, hanya sebatas teman hidup
sedarah pada sebuah rumah.
Banuang
sangat suka menari, saat melakukan apapun, ia bisa tak sadar sedang menari,
menari memang sudah mendarah daging. Tapi ayahnya tak suka, ada yang dia
sembunyikan soal mendiang istrinya dan Banuang.
“Mengapa kau tak berhenti menari saja, tak ada gunanya.”
kata ayahnya suatu hari saat Banuang sedang membuat kopi. Banuang sempat
terhentak karena baru kali ini ayahnya mengatakan demikian.
“Banuang tak ingin, Bapak tau sendiri Nuang sangat
suka menari.”
“Tapi semenjak kau menari, kau sering tampil dan
digoda oleh lelaki.”
“Itu hal yang wajar Pak, bukankah Amma’ juga dulunya
penari yang terkenal di desa ini”
“Iya,
Ibumu memang penari, penari tak tahu diri dan tidak tahu malu dan sering
dijamah oleh lelaki lain.”
Banuang
hanya bisa diam. Bapaknya tak pernah sekalipun berbicara baik soal Amma’nya,
dia seakan menutupi sesuatu.
“Banuang
akan tetap menari, menari sampai Bapak tak mengizinkan-pun, Banuang akan tetap
menari. Nanti malam acara puncak acara pengukuhan. Banuang harap Bapak bisa
hadir melihat betapa Banuang sangat lincah dalam menari.” Emosi Banuang
tersulut mendengar kata-kata Bapaknya, ia segera berlalu keluar rumah.
“Nuang,
kenapa kau tergesa-gesa?” Tamrin mengejar Banuang yang melangkah cepat.
“Tak
apa, aku tak apa. Kau urusi saja tuanmu yang sekenanya kepadaku, padahal aku
ini anak kandungnya sendiri.”
Tamrin
tak berkata apa-apa lagi, dia tahu sesuatu yang Banuang tak tahu. Dia
membiarkan Banuang berlari, menyusuri sungai, menyusuri bebatuan, dan
menghampiri sanggar tarinya.
Malam
puncakpun tiba, Banuang sudah berdandan cantik malam ini, menurut kepercayaan
di beberapa daerah penari adalah seseorang yang memiliki jiwa seni yang tinggi
dan biasanya diturunkan oleh leluhurnya, apalagi jika penari tradisional
seperti Banuang. Indo Basse’ sedari tadi gelisah menunggu acara agar segera
dibuka, dia yakin Banuang adalah gadis suci yang bisa menjadi penerusnya kelak
di desa ini. Di usianya yang senja dia sangat mengharapkan ada yang bisa menggantikannya
agar budaya yang ia teruskan tak mati.
Banuang mulai masuk panggung. Ia begitu cantik. Banuang
memaulai tariannya, matanya terpejam seolah berdoa, tangan dan kakinya kenes
mengikuti musik yang mengalun bertalu-talu. Semua memerhatikan Banuang menari,
kaum pria menempati tempat paling depan untuk sawer atau sekedar memandangi
buah yang telah ranum. Banuang menari, menari, dan terus menari seiring dengan
hentakan musik, hingga menjelang akhir tarian ada sosok yang naik ke atas
panggung lalu menebas kepala Banuang. Semua terpekik.
“Anak
haram tak pantas jadi penari di desa ini, kau pantas mati”
Ayahnya kini sudah berdiri dengan cipratan darah
mengenai pakaiannya. Ia sudah lama dendam dan menunggu saat ini, membunuh seorang
penari, Banung yang menurutnya lebih menjijikkan daripada pelacur.
NUR' AFIAH
0 komentar:
Posting Komentar