Pages

Sabtu, 19 September 2015

BANUANG

BANUANG
Banuang menari dengan kenes, dengan penuh penghayatan seakan tariannya hanya ia yang punya. Matanya kadang tertutup, namun jika terbuka ia seakan menantang dunia. Sudah setahun ini ia belajar menari kepada Indo Basse’, tapi bakatnya memang sudah ada sejak ia lahir. Ia lahir dari rahim penari kampung yang sayangnya tak sempat melihat Banuang melentikkan tangannya kepada dunia.
***
Banuang menyusuri sungai ingin pulang ke rumah, rumah yang dihuni oleh ia dan ayahnya yang pandai besi. Banuang berhati-hati memijakkan kakinya pada bebatuan, takut terpeleset dan terbawa arus. Tapi Banuang kadang menari di bebatuan, menganggap itu panggung yang biasa dipijakinya. Banuang tak sadar ada yang memerhatikannya,  tepat di belakangnya.
“Apa yang kau lakukan sampai sesore ini Banuang, Bapak sudah lapar” Sinrili’ berkata kesal sambil mengasah parang yang baru dibuatnya. Banuang takut dengan parang, dia selalu bermimpi ayahnya menggorokkannya di leher, mimpi yang ia tanggung beberapa bulan ini dan kadang menghampirinya.
“Maafkan Nuang pak” Banuang kemudian berlalu menuju dapur untuk segera menyiapkan makanan. Banuang tak terlalu dekat dengan bapaknya, hanya sebatas teman hidup sedarah pada sebuah rumah.
Banuang sangat suka menari, saat melakukan apapun, ia bisa tak sadar sedang menari, menari memang sudah mendarah daging. Tapi ayahnya tak suka, ada yang dia sembunyikan soal mendiang istrinya dan Banuang.
“Mengapa kau tak berhenti menari saja, tak ada gunanya.” kata ayahnya suatu hari saat Banuang sedang membuat kopi. Banuang sempat terhentak karena baru kali ini ayahnya mengatakan demikian.
“Banuang tak ingin, Bapak tau sendiri Nuang sangat suka menari.”
“Tapi semenjak kau menari, kau sering tampil dan digoda oleh lelaki.”
“Itu hal yang wajar Pak, bukankah Amma’ juga dulunya penari yang terkenal di desa ini”
“Iya, Ibumu memang penari, penari tak tahu diri dan tidak tahu malu dan sering dijamah oleh lelaki lain.”
Banuang hanya bisa diam. Bapaknya tak pernah sekalipun berbicara baik soal Amma’nya, dia seakan menutupi sesuatu.
“Banuang akan tetap menari, menari sampai Bapak tak mengizinkan-pun, Banuang akan tetap menari. Nanti malam acara puncak acara pengukuhan. Banuang harap Bapak bisa hadir melihat betapa Banuang sangat lincah dalam menari.” Emosi Banuang tersulut mendengar kata-kata Bapaknya, ia segera berlalu keluar rumah.
“Nuang, kenapa kau tergesa-gesa?” Tamrin mengejar Banuang yang melangkah cepat.
“Tak apa, aku tak apa. Kau urusi saja tuanmu yang sekenanya kepadaku, padahal aku ini anak kandungnya sendiri.”
Tamrin tak berkata apa-apa lagi, dia tahu sesuatu yang Banuang tak tahu. Dia membiarkan Banuang berlari, menyusuri sungai, menyusuri bebatuan, dan menghampiri sanggar tarinya.
Malam puncakpun tiba, Banuang sudah berdandan cantik malam ini, menurut kepercayaan di beberapa daerah penari adalah seseorang yang memiliki jiwa seni yang tinggi dan biasanya diturunkan oleh leluhurnya, apalagi jika penari tradisional seperti Banuang. Indo Basse’ sedari tadi gelisah menunggu acara agar segera dibuka, dia yakin Banuang adalah gadis suci yang bisa menjadi penerusnya kelak di desa ini. Di usianya yang senja dia sangat mengharapkan ada yang bisa menggantikannya agar budaya yang ia teruskan tak mati.
Banuang mulai masuk panggung. Ia begitu cantik. Banuang memaulai tariannya, matanya terpejam seolah berdoa, tangan dan kakinya kenes mengikuti musik yang mengalun bertalu-talu. Semua memerhatikan Banuang menari, kaum pria menempati tempat paling depan untuk sawer atau sekedar memandangi buah yang telah ranum. Banuang menari, menari, dan terus menari seiring dengan hentakan musik, hingga menjelang akhir tarian ada sosok yang naik ke atas panggung lalu menebas kepala Banuang. Semua terpekik.
“Anak haram tak pantas jadi penari di desa ini, kau pantas mati”
Ayahnya kini sudah berdiri dengan cipratan darah mengenai pakaiannya. Ia sudah lama dendam dan menunggu saat ini, membunuh seorang penari, Banung yang menurutnya lebih menjijikkan daripada pelacur.




 NUR' AFIAH

0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 AFIAH. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger