Pages

Rabu, 23 Oktober 2019

(EUFIMISME DAN DISFEMISME DALAM BAHASA INDONESIA)

Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemisme yang artinya berbicara baik. Eufemisme juga berarti elegan, halus, lemah lembut, meletakkan rapi dan baik yang dinyatakan. Ini dipakai untuk menyebut sesuatu yang dirasakan mengganggu atau tidak enak, agar terdengar lebih enak atau menjadi yang sebenarnya. Caranya adalah dengan mengganti kata-kata yang memiliki konotasi ofensif dengan ungkapan lain yang menyembunyikan kata yang tidak enak tersebut, dan bahkan menjadi sebutan yang sifatnya positif (Leech,2003:71). Seperti misalnya untuk mengatakan pemecatan bagi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dikatakan recall, hal ini karena untuk menyatakan langsung pemecatan terasa tidak enak, maka digunakan kata recall yang artinya menarik kembali tugas anggota DPR dari yang bersangkutan, hal ini biasanya karena yang bersangkutan melakukan kesalahan.
Eufemisme juga merupakan sebuah gaya bahasa yang berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan(Keraf, 1996:132). Jadi, dapat dikatakan eufemisme terjadi karena adanya keinginan dari pengguna bahasa untuk merekayasa asosiasi makna yang enak didengar dari kata yang memiliki asosiasi yang tidak dikehendaki,. Tujuannya adalah membuat komunikasi bahasa berjalan dengan baik dan tidak menampar muka lawan bicara. Oleh karena itu, jika ada hal yang tidak enak didengar atau dapat menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu, maka saat itulah eufemisme hadir sebagai jalan keluar bagi komunikasi bahasa yang baik. Dalam komunikasi politik, eufemisme diperlukan untuk menghindari ketakberterimaan dari sasaran komunikasi. Seperti kata pemekaran wilayahyang arti sebenarnya pemecahan wilayah. Kata pemecahan tidak dipilih karena maknanya dapat mengganggu fungsi negara kesatuan.
Contoh : "Di mana 'tempat kencing'nya?" dapat diganti dengan "Di mana 'kamar kecil'nya?". Kata "tempat kencing"(dalam bahasa sehari-hari biasa juga disebut WCtidak cocok jika akan digunakan untuk percakapan yang sopan. Kata "kamar kecil" dapat menggantikannya. Kata "kamar kecil" ini konotasinya lebih sopan daripada kata "tempat kencing". Jadi dalam eufemisme terjadi pergantian nilai rasa dalam percakapan dari kurang sopan menjadi lebih sopan.
Disfemisme merupakan suatu ungkapan dengan konotasi kasar, tidak sopan, atau menyakitkan hati mengenai sesuatu atau seseorang atau keduanya, dan merupakan pengganti untuk ungkapan netral (biasa) atau eufemisme karena alasan-alasan tertentu (Allan dan Burridge dalam Iorio, 2003). Menurut Abdul Chaer (1995: 145) disfemia digunakan biasanya untuk menunjukkan kejengkelan atau dilakukan orang pada situasi yang tidak ramahserta menarik perhatian orang lain. Misalnya, kata disinggahi adalah kata biasa yang bersifat lugas, lalu diganti dalam disfemisme dengan kata disanggong seperti dalam kalimat bukan hanya kantor yang disanggong aparat, ternyata sejumlah studio foto tempat saya mencuci dan mencetak telah juga dijaga petugas. Selain itu, disfemisme menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih jelek. Seperti yang diungkapkan Smith (2003) bahwa disfemisme merupakan suatu pernyataan yang berfungsi menjadikan sesuatu terdengar lebih buruk atau lebih serius daripada kenyataanya dan kebalikan dari eufemisme.

RANGKUMAN MATERI KELOMPOK XI (ANALISIS KOMPONEN MAKNA DALAM BAHASA INDONESIA)
Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain (Chaer, 2009:115). Pengertian komponen menurut Palmer ialah keseluruhan makna dari suatu kata, terdiri atas sejumlah elemen, yang antara elemen yang satu dengan yang lain memiliki ciri yang berbeda-beda (Aminuddin, 2008:128).
Analisis dengan cara seperti ini sebenarnya bukan hal baru, R. Jacobson dan Morris Halle dalam laporan penelitian mereka tentang bunyi bahasa yang berjudul Preliminaries to Speech Analysis: The Distinctive Features and Their Correlates telah menggunakan cara analisis seperti itu. Dalam laporan itu mereka mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lain. Bunyi-bunyi yang memiliki sesuatu ciri diberi tanda plus (+) dan yang tidak memiliki ciri itu diberi tanda minus (-). Konsep analisis dua-dua ini lazim disebut analisis biner oleh para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain.
Berkaitan dengan analisis komponen makna terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
(1)    Pembeda makna dan hubungan antarkomponen makna
(2)    Langkah analisis komponen makna
(3)    Hambatan analisis komponen makna
(4)    Prosedur analisis komponen makna
Pembeda Makna dan Hubungan antarkomponen Makna
Untuk dapat menganalisi komponen makna seseorang perlu mengetahui hubungan-hubungan makna yang ada di dalam kata-kata. Misalnya kata melompat dan melompat-lompat mempunyai hubungan makna dan perbedaan makna, sehingga diperlukan komponen pembeda. Lain halnya jika kata melompat dibandingkan dengan kata melihat, terdapat kenyataan bahwa kedua kata itu tidak memperlihatkan hubungan makna. Komponen pembeda makna akan jelas apabila diketahui komponen makna. Komponen makna diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kedekatan, kemiripan, kesamaan, dan ketidaksamaan suatu makna kata.
Berdasarkan hal tersebut di atas pembeda makna akan terjadi karena beberapa hal berikut ini.
(1) Perbedaan bentuk akan melahirkan perbedaan makna; dan
(2) Perubahan bentuk akan melahirkan hubungan makna.

(METONIMIA DALAM BAHASA INDONESIA)

Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Metonimia disebut oleh Keraf (1992:142) sebagai bagian dari sinekdoke. Sinekdoke dibagi menjadi dua yaitu pars pro toto: pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek, dan totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Contoh  : “Ia membeli sebuah chevrolete.”
“Saya minum satu gelas, ia dua gelas.”
“Pena lebih berbahaya dari pedang.”
“Ia telah memeras keringat habis-habisan.”
Parera (2004:121) menyebut metonimia sebagai hubungan kemaknaan. Berbeda halnya dengan metafora, metonimia muncul dengan kata-kata yang telah diketahui dan saling berhubungan. Metonimia merupakan sebuta pengganti untuk sebuah objek atau perbuatan dengan atribut yang melekat pada objek atau perbuatan yang bersangkutan. Misalnya, “rokok kretek” dikatakan “belikan saya kretek”. Metonimia menurut Parera (2004:121-122) dapat dikelompokkan bedasarkan atribut yang mendasarinya, misalnya metonimia dengan relasi tempat, relasi waktu, relasi atribut (pars prototo), metonimia berelasi penemu atau pencipta, dan metonimi berdasarkan perbuatan.
Metonimia berdasarkan atribut tempat, dicontohkan oleh Parera seperti “Pasar Blok M” disingkat “Blok M”sebagai singkatan nama bioskop yang terkenal di tempat tersebut pada masa tertentu, yakni “bioskop Majestik”. Di tahun 60-an di Jakarta Pusat terdapat gedung bioskop megah dengan nama “Metropole” dan tahun 80-an  diganti dengan nama “Megaria”. Masing-masing daerah dikenal dengan ciri atribut yang menonjol dan pada umumnya penduduk akan menyebutkan daerah tersebut berdasarkan ciri atribut yang terkenal.
Metonimi berdasarkan atribut waktu, contohnya “Datanglah setelah magrib”, “Subuh nanti kita berangkat”. Waktu Shalat bagi umat Islam seperti Magrib dan Subuh atau Misa bagi orang kristiani biasanya dipakai sebagai ukuran dan pembagian waktu di Indonesia.
Metonimi berdasarkan unsur bagian untuk seluruhnya atau disebut tipe pars pro toto. Contohnya, Militer atau tentara Nasional Indonesia (TNI) dikenal dengan sebutan “baju hijau”, kelompok pasukan tentara Angkatan Darat yang khusus disebut dengan “Baret Merah”.
Metonimi berdasarkan penemu dan pencipta, dicontohkan oleh Parera sebagai bentuk penyebutan penemu sesuatu. Misalnya, jika seorang ahli fisika mengatakan “satu ampere adalah aliran listrik yang satu volt dapat mengirim melali satu ohm”, maka ia telah menyebut tiga tokoh utama dalam bidang ilmunya, yakni Andre Ampere (orang Prancis), Count Alssandro Volta (orang Italia), dan George Simon Ohm (orang Jerman).








RANGKUMAN MATERI KELOMPOK IX (METAFORA DALAM BAHASA INDONESIA)

Metafora, kata Monroe adalah “puisi dalam miniatur”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit. Secara etimologis, terminologi metafora dibentuk melalui perpaduan dua kata Yunani—“meta” (diatas) dan “pherein” (mengalihkan/memindahkan). Dalam bahasa Yunani Modern, kata metafora juga bermakna “transfer” atau “transpor”. Dengan demikian, metafora adalah pengalihan citra, makna, atau kualitas sebuah ungkapan kepada suatu ungkapan lain (Classe: 2000: 941). Pengalihan tersebut dilakukan dengan cara merujuk suatu konsep kepada suatu konsep lain untuk mengisyaratkan kesamaan, analogi atau hubungan kedua konsep tersebut. Sebagai contoh, dalam metafora “Pelanggan adalah raja,” berbagai citra atau kualitas seorang raja, seperti kekuasaan, pengaruh, posisi, dan sebagainya dipindahkan kepada pelanggan. Ungkapan Shakespeare yang sangat terkenal “All the world’s a stage” adalah contoh metafora yang sering dikutip. Metafora ini mengindikasikan bahwa “the world” dan “stage” adalah dua hal yang analog. Karena metafora merupakan sebuah topik kajian utama berbagai disiplin ilmu, terutama linguistik, teori kesusastraan, filsafat, dan psikologi, konsep-konsep tentang metafora, termasuk definisinya, sangat beragam (Picken: 1988: 108). Hingga saat ini, terdapat paling tidak empat teori metafora yang mengungkapkan metafora dengan berbagai sudut pandang. Berikut ini adalah uraian singkat tentang keempat teori tersebut, yang secara khusus ditinjau dari perspektif penerjemahan.
Contoh:
·         Engkau belahan jantung hatiku sayangku. (sangat penting)
·         Raja siang keluar dari ufuk timur
·         Jonathan adalah bintang kelas dunia.
·         Harta karunku (sangat berharga)
·         Dia dianggap anak emas majikannya.
·         Perpustakaan adalah gudang ilmu.
Teori Metafora
a.         Teori PERBANDINGAN ( Perbandingan Teori )

b.        Teori Interaksi

(SINONIMI DAN ANTONIMI DALAM BAHASA INDONESIA)

Sinonimi berasal dari bahasa Yunani kono yaitu Onoma yang berarti nama, dan Synyang berarti dengan. Maka sinonimi berarti Nama lain untuk benda atau hal yang sama. Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan ( bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Contoh:
       Kata: buruk dan jelek
       Kata: Bungakembang dan puspa
a  Kata: Matiwafatmeninggal dan mampus
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga bersinonim dengan kata bunga.
Sinonimi “maknanya kurang lebih sama” ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu, kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kalau dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama, yang sama apanya? Menurut teori Verhaar yang sama adalah informasinya.
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja.
Verhaar (1978) mendefinisikan antonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, tetapi dapat juga berbentuk frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Antonimi sering disebut dengan lawan kata, maksudnya maknanya kebalikan dari makna ungkapan lain.
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja.

RINGKASAN MATERI KELOMPOK V (HOMONIMI DALAM BAHASA INDONESIA)
Dua buah kata atau lebih mungkin mempunyai bunyi yang identik. Inilah yang disebut homonimi. Misalnya kata kali yang berarti ‘sungai’ dan kata kali yang berarti ‘kelipatan’. Ullman (1972: 176) menjelaskan bahwa terdapat 3 cara dalam terbentuknya homonim.
Cara terbentuknya homonim yang pertama yaitu konvergensi fonetis (pemusatan/perpaduan bunyi). Akibat pengaruh bunyi maka dua atau tiga kata yang semula berbeda bentuknya, lalu menjadi sama bunyinya dalam bahasa lisan atau kadang-kadang sama ketulisannya. Dalam bahasa Indonesia kata sah sering diucapkansyah, sehingga menimbulkan homonimi: syah  ‘raja’ – syah ‘sudah menurut hukum. Ini berarti bahwa homonimi tidak akan muncul kalau orang tidak mengucapkan sah menjadisyah yang menyatukan dua bunyi menjadi satu.
Homonim Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Homonim adalah kata yang sama lafadh dan ejaannya, tetapi berbeda maknanya karena berasal dari sumber yang berlainan (seperti hak pada hak asasi manusia, dan hak pada hak sepatu).
Pengertian Homograf
Homograf (bahasa Yunani: μός, homós, "sama" dan γράφω, gráphō, "tulis") adalah suatu kata yang sama ejaannya dengan kata lain, tetapi berbeda lafadhnya dan maknanya. Dalam bahasa Indonesia, contoh homograf antara lain adalah "teras" yang dapat bermakna inti kayu atau bagian rumah, dan "apel", yang dapat bermakna buah atau kumpul.
Pengertian Homofon
Homofon (bahasa Yunani: μός, homós, "sama" dan φωνή, phōn , "bunyi") adalah kata yang diucapkan sama dengan kata lain tetapi berbeda dari segi maksud. Perkataan-perkataan yang homofon mungkin dieja dengan serupa atau berbeda; "buku" (bahan bacaan) dan "buku" (bagian di antara dua ruas); "massa" (dalam perkataan media massa) dan "masa" (waktu). Perkataan-perkataan ini adalah serupa dari segi sebutan tetapi mempunyai arti yang berbeda, atau merujuk kepada perkara yang tidak sama. Homofon merupakan sejenis homonim, meskipun kadang-kala homonim digunakan untuk merujuk hanya kepada homofon yang mempunyai ejaan yang sama tetapi arti yang berlainan. Istilah ini juga digunakan untuk unit-unit yang lebih singkat daripada perkataan, seperti huruf atau beberapa huruf yang disebut sama dengan huruf lain atau kumpulan huruf yang lain.
Homofon adalah istilah yang berlawanan dengan homograf.

Minggu, 23 September 2018

Analisis Dimensi Sosiologi pada Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari



Analisis Dimensi Sosiologi pada Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari

A.      Latar Belakang
Secara umum, sastra mencakup dua bidang, yakni bidang karya sastra dan bidang ilmu sastra. Kedua bidang tersebut saling berkait. Karya sastra muncul lebih dahulu dibandingkan ilmu sastra. Dengan kata lain ilmu sastra muncul setelah ada karya sastra. Ilmu sastra ada karena adanya karya sastra.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto, 2003: 59).  Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghaslkan pandangan dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Sebuah karya sastra merupakan hasil refleksi dari berbagai bidang kehidupan sehingga menghasilkan sesuatu yang bernilai seni sekaligus bernilai jual.
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel fenomenal di mana di dalamnya ada unsur adat istiadat yang masih sangat kental, penokohan yang dibuat sedetail mungkin, hingga lingkungan yang dibuat sehidup mungkin. Di Novelnya kali ini, Ahmad Tohari menggunakan kata-kata kasar dan tak senonoh untuk menambah kesan hidup pada karakter dan lingkungannya. Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbuk kecil di tengah padang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hamper dua kilometer panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan kehidupannya sendiri (Ronggeng Dukuh Paruk, hal 4, format Pdf). Di situ tergambar jelas unsur lingkungan sosialnya yang masih terbelakang dan anti sosial. Tak hanya itu penggalan di atas diperkuat dengan kalimat selanjutnya, Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya (Ronggeng Dukuh Paruk, hal 4 format Pdf)  yang menambah kesan, betapa pandangan hidup orang Dukuh Paruk sangat berbeda dengan orang-orang di luar Dukuhnya.
Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang bernama Srintil. Novel ini berlatar tempat di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk merupakan sebuah kampung terpencil yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Dawuhan. Sedangkan, latar waktunya adalah sekitar tahun 1965-an. Srintil konon adalah titisan dari moyangnya sehingga tanpa kursuspun bahkan sampai menutup mata sekalipun Dia bisa menari dengan baik dan kenes (lincah dan menawan hati). Srintil yang masih belia (11 tahun) diperlakukan dengan baik bahkan dipuji oleh orang-orang didesanya, tanpa orang-orang tersebut tahu, Srintil harus menanggung beban berat dipundaknya untuk menjadi seorang Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini tak banyak mengambil latar di luar Dukuh Paruk.
Selain itu ada pula Rasus yang sangat mengagumi Srintil dan membayangkan sosok Emak (Ibu) yang tak Dia ingat wajahnya itu ada pada diri Srintil yang anggun dan cantik. Namun Rasus sepertinya harus menelan pil kekecewaan saat Kartareja sebagai orang yang dituakan dan dihormati di Dukuh Paruk membuat hilang akal sehatnya. Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! Pikirku (Ronggeng Dukuh Paruk, hal 46, format Pdf). Secara tidak langsung Kartareja sedang mengadakan jual beli Srintil kepada pemuda-pemuda berduit dan hidung belang di luar sana.
Dimensi sosiologi (meliputi latar belakang kemasyarakatan misalnya status sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dan sebagainya) novel Ronggeng Dukuh Paruk sangat bisa dirasakan dan terkesan hidup, walaupun tak dapat dipungkiri dimensi fisiologi dan dimensi psikologi juga sangat berperan. Maka dari itu, penulis tertarik mengangkat judul Analisis Dimensi Sosiologi Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dengan demikian dirumuskan permasalahan dalam analisis adalah, bagaimana dimensi sosiologi, dalam hal ini latar belakang kemasyarakatan (pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hingga kesenangan) orang-orang Dukuh Paruk dalam menjalani kehidupan sehari-hari seperti yang digambarkan Ahmad Tohari?

C.      Tujuan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dimensi sosiologi, dalam hal ini latar belakang kemasyarakatan (pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hingga kesenangan) orang-orang Dukuh Paruk dalam menjalani kehidupan sehari-hari seperti yang digambarkan Ahmad Tohari.

D.      Manfaat penelitian
1.        Manfaat Praktis
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari patut menjadi bahan pembelajaran dan pertimbangan yang baik dalam dunia pembelajaran maupun dunia sastra yang luas, walaupun ada beberapa kata cabul didalamnya tapi tak melunturkan nilai memikat dari penyampain Ahmad Tohari yang mebgitu luwes. Dengan membaca novel tersebut khususnya mendalami dimensi sosiologi novel Ronggeng Dukuh Paruk, pembaca sekalian dapat merasakan lingkungan adat yang luar biasa serta pembelajaran yang tak kalah menarik yang termuat didalamnya.
2.        Bagi Teoteris
Manfaat teoretis dari skripsi ini yaitu,  memeroleh pengetahuan baru tentang dimensi sosiologi novel Ronggeng Dukuh Paruk, selain itu penulis juga menyadari banyak hal di luar sana yang sangat istimewa tapi kadang terlupakan, yaitu adat dan budaya. Membaca langsung novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari seakan menarik penulis ke tahun 1965, latar pada novel ini yang oenuh intrik mistis hingga pertikaian dan kematian. Selain itu, memberi dorongan kepada peneliti selanjutnya untuk melaksanakan penelitian sejenisnya.


SEMIOTIK DALAM PUISI PRAJURIT JAGA MALAM



SEMIOTIK DALAM PUISI PRAJURIT JAGA MALAM

1.        Komponen Tanda (lambang atau simbol, makna)

Prajurit Jaga Malam
Karya: Chairil Anwar
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam
Mimpi kemerdekaan bintang-bintangnya
Kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
a.        Lambang atau Simbol
Lambang atau simbol yang dimaksud adalah, waktu, tajam, bintang-bintangnya, mati, berwangi, terlucut.
b.        Makna
Makna pada bait 1
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajamBerartisewaktumenjalanihidupakutidaktahubagaimananantiakhirnyaanakmuda yang masihkuatdan orang tua yang kerasmemandangku waspada terhadap penjagaan mereka. Pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama pada puisi ini.
Makna pada bait 2
Mimpi kemerdekaan bintang-bintangnya
Kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati iniberarti memimpikankemerdekaanmungkinhanyahalusinasibelakasampaimatiakuakanmempertahankandaerahini. Si Aku memimpikan kemerdekaan yang abadi. Namun, mungkin hanya diangannya saja. Puisi yang berlatar belakang tahun 1945 ini sangat lekat dengan kemerdekaan dan pemberontakan.
Makna pada bait 3
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malamberarti sampaimatiakuakanmempertahankandaerahini, akubanggadenganmeraka yang taktakutmalam, taktakutkegelapan. Di bait ini tersirat akan keberanian, si Aku yang bangga dengan orang-orang yang berani dan tak takut dengan apapun.
Makna pada bait 4
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktuberarti walaumalam terusbergantisiangdanaku pun taktahubagaimanaakhirnyananti. Si Aku yang tidak tahu akan apa yang terjadi nantinya, si Aku yang pasrah dengan keadaan dan tidak bisa lagi berbuat apa-apa untuk kedepannya, dia tak bisa menebak apa yang akan terjadi nantinya.
2.        Tingkatan Tanda
Tingkatan tanda denotasi terdapat pada kata :
Kata waktu berarti seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Waktu adalah sesuatu yang bergerak dan selalu bergerak. Si Aku merasa hidupnya tak bisa berbuat apa-apa terhadap waktu yang terus bergerak namun penderitaan terhadap dirinya dan negerinya juga semakin berpacu. Tajam berarti bermata tipis, halus, dan mudah mengiris, melukai, tajam identik dengan pisau atau senjata tajam lainnnya. Mati berarti sudah tidak hidup lagi, tidak bernyawa dan tidak bergerak, tidak berdaya lagi.
Tingkatan tanda konotasi terdapat pada kata:
Nasib waktu pada bait “Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu”
 berarti dimana Si Aku menjalani kehidupan yang Ia sendiri belum tahu apa yang akan terjadi kemudian. Tak mampu menebak permainan waktu pada kehidupannya dimasa depan.
Tajam pada bait “Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam”berarti pandangan mata orang tua kepada pemuda yang masih gagah dan kuat sebagai prajurit.
Bintang-bintangnya pada bait “Mimpi kemerdekaan bintang-bintangnya” berarti suatu impian dimana kemerdekaan ingin diraih dan tak ingin semua itu hanyalah khayalan.
3.        Relasi Antar Tanda
Relasi antar tanda yang meiputi metafora dalam puisi “Prajurit Jaga Malam” yaitu:
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Keduanya bercerita tentang keberanian, ketegaran, dan semangat yang membara dari orang-orang (prajurit) yang rela berjaga demi keamanan. Pengorbanan seorang prajurit,disaat semua orang sedang tertidur saat malam hari tetapi ia tetap berjaga.Itulah pengorbanan dari seorang prajurit.Dipuisi ini sang pengarang sedang bercerita tentang penngorbanan prajurit.



 

(c)2009 AFIAH. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger