BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Syarat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci
secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,
kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum
waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
Hubungan persaudaraan bisa
berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak
dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan
diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris
menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi
seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak
menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing
ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Oleh karenanya, dalam pembagian
warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan
oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pengetian warisan dalam islam?
2.
Bagaimana cara pembagian dan pengaplikasian
warisan dalam hukum islam?
3.
Bagaimana
kedudukan hukum waris dalam islam?
C.
Tujuan
Masalah
Untuk mengetahui pengertian warisan
dalam islam, mengetahui cara pembagian warisan dalam islam, dan mengetahui
bagaimana pengaplikasian warisan dalam islam serta kedudukan hukum waris dalm
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Warisan Dalam Islam
Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban
atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah
meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. "Dan untuk
masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris
atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah
kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha
Menyaksikan segala sesuatu." (QS.
4/An-Nisa': 33).
Yang disebut
harta warisan, adalah sisa dari kekayaan si mati setelah dipotong untuk:
1. Menzakati
harta yang ditinggalkan si mayat
2. Membiayai pengurusan mayat.
Yakni mulai dari biaya pengobatan dan ambulans (jika meninggal dunia di rumah
sakit), pembelian kain kafan, nisan, penggalian kubur, dan lain-lain sampai
pemakamannya;
Sabda Muhammad Rosulullah saw. "Kafanilah olehmu mayat dengan dua kain ihromnya." (HR. Jama'ah ahli hadits)
Sabda Muhammad Rosulullah saw. "Kafanilah olehmu mayat dengan dua kain ihromnya." (HR. Jama'ah ahli hadits)
3. Melunasi hutang-hutang si mayat,
apabila ia memiliki hutang;
4. Memenuhi wasiat si mayat, jika
ia berwasiat yang besarnya tidak lebih dari sepertiga dari harta yang
ditinggalkannya. "...(pembasrian harta pusaka itu) sesudah (dipenuhi)
wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya." (QS.
4/An-Nisa': 11).
Para ulama fiqih memberikan definisi
ilmu faraid sebagai berikut :
1. penentuan bagian bagi ahli waris
2. ketentuan bagian warisan yang
ditetapkan oleh syariat islam
3. ilmu fikih yang berkaitan dengan
pembagian pusaka serta mengetahui perhitungan dan kadar harta pusaka bagi ahli waris
Dengan singkat
ilmu faraid dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Menurut istilah hukum
di Indonesia, ilmu faraid ini disebut dengan “hukum warisyaitu hukum yang
mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang
meninggal dunia. Dalam kompilasi Hukum islam dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Hukum kewarisan adalah Hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan
serta peninggalan[tirkah] pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagianya masing-masing. (pasal 171 ayat a KHI).
Yang
berhak mendapat wasiat adalah selain ahli waris, karena ia sudah mendapat hak
warisan. Muhammad Rosulullah saw. bersabda "Sesungguhnya Allah memberi
kepada setiap orang yang berhak atas haknya. Oleh karena itu tidak ada wasiat
bagi ahli waris” .(HR. Lima ahli hadits, kecuali Abu Dawud. Hadits ini juga
disahkan oleh Tirmidzi dari Amr bin Khorijah ra.)
Bentuk-bentuk
Waris
1. Hak waris
secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
2. Hak waris
secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
3. Hak waris
secara tambahan.
4. Waris secara
pertalian rahim.
Rukun Waris ada
tiga:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan
ahli warisnya berhak untuk mewarisi
harta peninggalannya.
harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk
menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara
hakiki maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal).
dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki
pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti,
termasuk jumlah bagian masing-masing.
· Syarat
Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya
pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang
telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari
mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak
diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya
tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang
yang telah meninggal.
· Syarat
Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak
kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk
mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari
golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau
dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu
meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka
miliki ketika masih hidup.
· Syarat
Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris
hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya,
sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan
kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan
jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita
tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan
tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau
saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak
menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada
yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.
Faktor-faktor
yang menyebabkan mendapat Warisan
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan
warisan ada tiga:
1. Nasab
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah, satu
sama lain lebih berhak (waris-mewaris).” (QS al-Ahzaab: 6)
2. Wala’
(Loyalitas budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, ia
bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti kekerabatan senasab.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X:
292).
3. Nikah
Allah swt menegaskan:
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)
B. Cara Pembagian dan Pengaplikasian Warisan Dalam Hukum Islam
Arti harta
warisan/pusaka/peninggalan (tirkah) adalah: harta yang ditinggalkan oleh si mati secara
mutlak. Artinya harta yang dimiliki oleh
si mati saja, tidak dicampur-campur dengan harta lain (sering disebut gono-gini)
secara keseluruhan, apa-apa saja yang menjadi milik si mati secara sah,
itulah yang dibagikan sebagai harta warisan atau pusaka, Misalnya
seorang isteri meninggal dunia, maka yang dibagikan hanyalah milik si
isteri misalnya tabungannya, motornya, atau apa saja yang menjadi milik
dia, baik berasal dari perolehan, pendapatan, ataupun pemberian; harta
tinggalan lain seperti rumah dll. tidak ikut menjadi obyek warisan jika rumah
itu dibeli dari uang suaminya.
فَإِن كُنَّ نِسَآءً۬ فَوۡقَ
ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٲحِدَةً۬ فَلَهَا
ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡہُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَك
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua ,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan,
(QS.An-Nisa: 11)
وَلَڪُمۡ نِصۡفُ مَا
تَرَكَ أَزۡوَٲجُڪُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَهُنَّ
وَلَدٌ۬ فَلَڪُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَڪۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِينَ
بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَڪُن
لَّكُمۡ وَلَدٌ۬ۚ فَإِن ڪَانَ لَڪُمۡ وَلَدٌ۬ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا
تَرَڪۡتُمۚ
Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (QS.An-Nisa:12)
Mengetahui pokok masalah
merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar
kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga
pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak
masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok
masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh
angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit.
Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang
jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.). Untuk mengetahui pokok
masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya,
kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk
'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara
'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh
ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per
kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau
seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok
masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata
ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak
laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal
ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak
perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya,
seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga
perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit
meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya
sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika
ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti
itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang
suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab,
bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah
(1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama
--misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok
masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok
masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan
(1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Pembagian
Warisan Dalam Agama Islam
1. Penerima warisan yang berhak mendapat
setengah
Penerima
warisan yang berhak mendapatkan separuh
dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan
empat lainnya perempuan. Kelima penerima warisan tersebut ialah suami, anak
perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan
seayah.
2. Penerima warisan yang berhak mendapat
seperempat
Adapun
kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya
hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
3. Penerima warisan yang berhak mendapat
seperdelapan
Dari
sederetan penerima warisan yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu
istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari
harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak
tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.
4. Penerima warisan yang berhak mendapat
bagian dua per tiga
Ahli
waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan
pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita; dua anak perempuan
(kandung) atau lebih, dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih,
dua orang saudara kandung perempuan atau lebih, dan dua orang saudara perempuan
seayah atau lebih.
5. Penerima warisan yang berhak mendapat
bagian sepertiga
Adapun
penerima warisan yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua,
yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
6. Penerima
warisan yang berhak mendapat bagian seperenam
Adapun
asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang.
Mereka adalah ayah, kakek asli (bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara perempuan seayah, nenek asli, saudara laki-laki dan
perempuan seibu.
Contoh pembagian
:
Seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki, ibu dan
seorang isteri, berapa bagiankah untuk masing-masing?( misalnya ada 24 bagian)
Jawab
: Ibu mendapat 1/6 dari harta
pusaka.
Isteri
mendapat 1/8 dari harta pusaka.
Anak
laki-laki mendapat sisa (ashabah)
Asal
masalah : 24
Ibu
mengambil 1/6 dari 24.................= 4
bagian
Isteri
mendapat 1/8 dari 24................= 3
bagian
Anak
laki-laki mendapat sisa dari 24
Setelah
diambil untuk ibu dan isteri..= 17
bagian
Jumlah= 24 bagian
Contoh 2
Harta waris Rp 24.000,-. Ahli waris: istri, ibu,
bapak, 2 anak laki-laki. Maka;
Istri,
|
1/8 x 24.000
|
=
|
3.000
|
|
Ibu,
|
1/6 x 24.000
|
=
|
4.000
|
|
Bapak,
|
1/6 x 24.000
|
=
|
4.000
|
|
2 Anak Laki-laki,
|
ashabah
|
=
|
13.000
|
(atau 6.500/Anak)
|
C. Kedudukan Hukum Waris Dalam Islam
Masalah harta
pusaka sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama untuk menentukan
siapa-siapa yang berhak dan yang tidak berhak mendapatkan warisan yang pada
giliranya bias menimbulkan keretakan keluarga. Menurut salah satu pihak
dianggap adil sedang menurut pihak lain masih menganggap tidak adil. Keadilan
menurut pemikiran sangat subjektif.
Karena
itu, agama islam datang membawa ketentuan dari allah SWT, dalam hal waris
mewaris ini. Sehingga apabila orang-orang telah dilandasi ketakwaan kepada
allah swt, semuanya akan berjalan dengan lancar,tidak akan menimbulkan sengketa
lagi bahkan kerukunan keluarga pun akan terjadi. Ketentuan-ketentuan dari allah
swt itu sudah pasti serta bagian masing-masing pun sudah ditentukan secara
rinci dan semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah allah swt. Dengan demikian,
ukuran keadilan adalah dari allah swt
bukan dari pemikiran manusia, sebagaimana firman allah swt dalam al-quran surat
al-nisa’(4):11 :
“
tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
merek’a yang lebih dekat(banyak) manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari
allah sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Berbeda halnya
dengan aturan pembagian harta pusaka dalam masyarakat arab sebelum islam,
mereka mendasarkan pembagian harta pusaka dengan pemikiran tradisional yang
tidak rasional. Mereka membatasi penyebab seseorang mendapat pusaka, hanya
laki-laki yang mampu berperang untuk mnedapatkan harta rampasan perang serta
dapat mempertahankan kepentingan keluarga mereka. Wanita dan anak-anak tidak
berhak untuk mendapatkan pusaka.
Malah menurut
adat sebagaian masyarakat arab sebelum islam apabila seseorang meninggal dunia
maka anak laki-laki tertua atau anggota keluarga lain berhak mewarisi bekas
istri-istri ayahnya (yang bukan ibunya), dan boleh di kawini sendiri
atau dikawinkan dengan orang lain atau tidak di bolehkan kawin lagi. Di sinilah terlihat
keadilan syariat islam mengangkat kedudukan wanita, baik dalam kehidupan
keluarga maupun di dalam masyarakat demikian juga anak-anak dan orang tua yang
tidak mampu lagi berperang.
Syariat islam
memandang bahwa ilmu faraid adalah suatu ilmu yang vital dan Hukum yang
mempelajarinya adalah fardhu kifayah sebagaimana dalam hadist riwayat ibnu
majah, Rasul bersabda :
“`
pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain, sesungguhnya ilmu ini
adalah setengah dari semua ilmu dan ilmu inilah yang pertama kali tercabut dari
umatku (tidak di amalkan lagi).” (HR.IBNU MAJAH DARUT QUTHNI)
Kemajuan dan
perkembangan zaman merupakan tantangan dalam mengamalkan hukum waris islam.
Perubahan dan keragaman sistem kehidupan keluarga dan masyarakat, munculnya
pemikirain emansipasi kaum wanita, mengakibatkan timbul suatu pemikiran
seolah-olah hukum
waris islam tidak mencermirkan rasa keadilan dan tidak lagi relevan dengan
kehidupan masa kini. Hal ini mengakibatkan sebagaian umat islam meninggalkan hukum waris islam dan
menggantinya dengan hukum
adat atau budaya setempat yang menurut anggapan mereka lebih sesuai dengan rasa
keadilan. Padahal sebenarnya bukanlah hukum
waris islam yang tercantum dalam Al-Quran dan al-hadist
tidak sesuai dengan perkembangan zaman tetapi metode pembagian dan penetapan
harta warisan hukum
islam yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Mengingat
pentingnya ilmu faraid tersebut, di samping adanya beberapa masalah khilafiyah
dalam ketentuan warisan islam, maka di Indonesia di susun sebuah kompilasi hukum islam yang di
ambil dari pendapat pendapat para sahabat dan imam mujtahid dengan merujuk
kepada 38 kitab fiqih yang terkenal. Isi dari kompilasi hukum islam ini terdiri dari
hukum perkawinan, kewarisan dan hukum pewakafan.
Walaupun kompilasi hukum
islam ini merupakan instruksi presidan (inpres no. 1 tahun 1991 tanggal 10 juni
1991), namun sudah bisa dijadikan pedoman dalam memeriksa,memutuskan, dan
menyelesaikan perkara antara orang-orang beragama islam, di bidang kewarisan, wasiat, dan hibah pada
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.
Dalam
undang-undang nomor 7 tahum1989, pengadilan agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai
perkara, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang
dilakukan berdasarkan hukum
islam. Bidang kewarisan yang dimaksud ialah menentukan siapa-siapa yangmenjadi
ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian peninggalan atau harta
warisan.
Hukum
warisan di Indonesia telah diakui eksistensinya oleh undang-undang sebagai
salah satu hukum
pisitif yang mempunyai
kekuatan hukum
bagi orang-orang yang beragama islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pembahasan
mengenai hokum kewarisan islam pada dasarnya menyangkut tiga hal pokok yaitu
pewaris,ahli waris,dan harta warisan. Ketiga hal pokok itu dapat
diklasifikasikan dalam dua kategori hubungan yaitu hubungan kekerabatan dan
hubungan perkawinan.
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id
dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang
meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat
islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau
apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian
luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan
sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak
yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk
orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam,
mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur
dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati
dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
B.
Saran
Saran kami sebagai penulis dan
penyusun makalah ini, bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, itu
dikarenakan kurangnya referensi dan buku kami miliki. Namun, tak ada gading
yang tak retak, diharapkan pembaca dapat menambah ilmu dari penyajian makalah
kami.