Pages

Sabtu, 27 Desember 2014

AIK V (WARISAN DAN APLIKASI WARISAN DALAM ISLAM)



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Syarat  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Oleh karenanya, dalam pembagian warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengetian warisan dalam islam?
2.      Bagaimana cara pembagian dan pengaplikasian warisan dalam hukum islam?
3.      Bagaimana kedudukan hukum waris dalam islam?
C.      Tujuan Masalah
Untuk mengetahui pengertian warisan dalam islam, mengetahui cara pembagian warisan dalam islam, dan mengetahui bagaimana pengaplikasian warisan dalam islam serta kedudukan hukum waris dalm islam.











BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Warisan Dalam Islam
Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS. 4/An-Nisa': 33).
Yang disebut harta warisan, adalah sisa dari kekayaan si mati setelah dipotong untuk:
1.   Menzakati harta yang ditinggalkan si mayat
2. Membiayai pengurusan mayat. Yakni mulai dari biaya pengobatan dan ambulans (jika meninggal dunia di rumah sakit), pembelian kain kafan, nisan, penggalian kubur, dan lain-lain sampai pemakamannya;
Sabda Muhammad Rosulullah saw. "Kafanilah olehmu mayat dengan dua kain ihromnya." (HR.
Jama'ah ahli hadits)
3. Melunasi hutang-hutang si mayat, apabila ia memiliki hutang;
4. Memenuhi wasiat si mayat, jika ia berwasiat yang besarnya tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkannya. "...(pembasrian harta pusaka itu) sesudah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya." (QS. 4/An-Nisa': 11).
Para ulama fiqih memberikan definisi ilmu faraid sebagai berikut :
1. penentuan bagian bagi ahli waris
2. ketentuan bagian warisan yang ditetapkan oleh syariat islam
3. ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka serta mengetahui perhitungan dan kadar harta   pusaka bagi ahli waris
Dengan singkat ilmu faraid dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraid ini disebut dengan “hukum warisyaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia. Dalam kompilasi Hukum islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum kewarisan adalah Hukum yang mengatur pemindahan hak kepemilikan serta peninggalan[tirkah] pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing. (pasal 171 ayat a KHI).
Yang berhak mendapat wasiat adalah selain ahli waris, karena ia sudah mendapat hak warisan. Muhammad Rosulullah saw. bersabda "Sesungguhnya Allah memberi kepada setiap orang yang berhak atas haknya. Oleh karena itu tidak ada wasiat bagi ahli waris” .(HR. Lima ahli hadits, kecuali Abu Dawud. Hadits ini juga disahkan oleh Tirmidzi dari Amr bin Khorijah ra.)
Bentuk-bentuk Waris
1.      Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
2.      Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
3.      Hak waris secara tambahan.
4.      Waris secara pertalian rahim.

Rukun Waris ada tiga:
1.       Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi
  harta peninggalannya.
2.       Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta
 peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.       Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
 baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
1.       Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya
 dianggap telah meninggal).
2.       Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.       Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
·         Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
·         Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup.
·         Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
           
Faktor-faktor yang menyebabkan mendapat Warisan
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
1.      Nasab
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris).” (QS al-Ahzaab: 6)
2.      Wala’ (Loyalitas budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, ia bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti kekerabatan senasab.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X: 292).
3.      Nikah
Allah swt menegaskan:
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)

B. Cara Pembagian dan Pengaplikasian Warisan Dalam Hukum Islam
Arti harta warisan/pusaka/peninggalan (tirkah) adalah: harta yang ditinggalkan oleh si mati secara mutlak. Artinya harta yang dimiliki oleh si mati saja, tidak dicampur-campur dengan harta lain (sering disebut gono-gini) secara keseluruhan, apa-apa saja yang menjadi milik si mati secara sah, itulah yang dibagikan sebagai harta warisan atau pusaka, Misalnya seorang isteri meninggal dunia, maka yang dibagikan hanyalah milik si isteri misalnya tabungannya, motornya, atau apa saja yang menjadi milik dia, baik berasal dari perolehan, pendapatan, ataupun pemberian; harta tinggalan lain seperti rumah dll. tidak ikut menjadi obyek warisan jika rumah itu dibeli dari uang suaminya.
Dasarnya adalah sekian banyak ayat Al-Qur'an yang menisbatkan harta dengan si mati, misalnya:
                فَإِن كُنَّ نِسَآءً۬ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ‌ۖ وَإِن كَانَتۡ وَٲحِدَةً۬ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُ‌ۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٲحِدٍ۬ مِّنۡہُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَك
Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua , maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, (QS.An-Nisa: 11)

 وَلَڪُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٲجُڪُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ۬‌ۚ فَإِن ڪَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ۬ فَلَڪُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَڪۡنَ‌ۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ۬‌ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَڪُن لَّكُمۡ وَلَدٌ۬‌ۚ فَإِن ڪَانَ لَڪُمۡ وَلَدٌ۬ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَڪۡتُم‌ۚ 
Dan bagimu [suami-suami] seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (QS.An-Nisa:12)
Mengetahui pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.). Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama --misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Pembagian Warisan Dalam Agama Islam
1.    Penerima warisan yang berhak mendapat setengah
Penerima warisan yang berhak mendapatkan separuh dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima penerima warisan tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.
2.    Penerima warisan yang berhak mendapat seperempat
Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
3.    Penerima warisan yang berhak mendapat seperdelapan
Dari sederetan penerima warisan yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.
4.    Penerima warisan yang berhak mendapat bagian dua per tiga
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita; dua anak perempuan (kandung) atau lebih, dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih, dua orang saudara kandung perempuan atau lebih, dan dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
5.    Penerima warisan yang berhak mendapat bagian sepertiga
Adapun penerima warisan yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
6.    Penerima warisan yang berhak mendapat bagian seperenam
Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah ayah, kakek asli (bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara perempuan seayah, nenek asli, saudara laki-laki dan perempuan seibu.
Contoh pembagian :
Seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki, ibu dan seorang isteri, berapa bagiankah untuk masing-masing?( misalnya ada 24 bagian)
Jawab :            Ibu mendapat 1/6 dari harta pusaka.
Isteri mendapat 1/8 dari harta pusaka.
Anak laki-laki mendapat sisa (ashabah)
Asal masalah : 24
Ibu mengambil 1/6 dari 24.................=           4 bagian
Isteri mendapat 1/8 dari 24................=           3 bagian
Anak laki-laki mendapat sisa dari 24
Setelah diambil untuk ibu dan isteri..=           17 bagian
                                                Jumlah=           24 bagian
Contoh 2
Harta waris Rp 24.000,-. Ahli waris: istri, ibu, bapak, 2 anak laki-laki. Maka;
Istri,
1/8 x 24.000
=
3.000

Ibu,
1/6 x 24.000
=
4.000

Bapak,
1/6 x 24.000
=
4.000

2 Anak Laki-laki,
ashabah
=
13.000
 (atau 6.500/Anak)

C. Kedudukan Hukum Waris Dalam Islam
Masalah harta pusaka sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama untuk menentukan siapa-siapa yang berhak dan yang tidak berhak mendapatkan warisan yang pada giliranya bias menimbulkan keretakan keluarga. Menurut salah satu pihak dianggap adil sedang menurut pihak lain masih menganggap tidak adil. Keadilan menurut pemikiran sangat subjektif.
Karena itu, agama islam datang membawa ketentuan dari allah SWT, dalam hal waris mewaris ini. Sehingga apabila orang-orang telah dilandasi ketakwaan kepada allah swt, semuanya akan berjalan dengan lancar,tidak akan menimbulkan sengketa lagi bahkan kerukunan keluarga pun akan terjadi. Ketentuan-ketentuan dari allah swt itu sudah pasti serta bagian masing-masing pun sudah ditentukan secara rinci dan semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah allah swt. Dengan demikian, ukuran keadilan adalah  dari allah swt bukan dari pemikiran manusia, sebagaimana firman allah swt dalam al-quran surat al-nisa’(4):11 :
“ tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara merek’a yang lebih dekat(banyak) manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari allah sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.” 
Berbeda halnya dengan aturan pembagian harta pusaka dalam masyarakat arab sebelum islam, mereka mendasarkan pembagian harta pusaka dengan pemikiran tradisional yang tidak rasional. Mereka membatasi penyebab seseorang mendapat pusaka, hanya laki-laki yang mampu berperang untuk mnedapatkan harta rampasan perang serta dapat mempertahankan kepentingan keluarga mereka. Wanita dan anak-anak tidak berhak untuk mendapatkan pusaka.
Malah menurut adat sebagaian masyarakat arab sebelum islam apabila seseorang meninggal dunia maka anak laki-laki tertua atau anggota keluarga lain berhak mewarisi bekas istri-istri ayahnya (yang  bukan ibunya), dan boleh di kawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain atau tidak di bolehkan kawin lagi. Di sinilah terlihat keadilan syariat islam mengangkat kedudukan wanita, baik dalam kehidupan keluarga maupun di dalam masyarakat demikian juga anak-anak dan orang tua yang tidak mampu lagi berperang.
Syariat islam memandang bahwa ilmu faraid adalah suatu ilmu yang vital dan Hukum yang mempelajarinya adalah fardhu kifayah sebagaimana dalam hadist riwayat ibnu majah, Rasul bersabda :
“` pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain, sesungguhnya ilmu ini adalah setengah dari semua ilmu dan ilmu inilah yang pertama kali tercabut dari umatku (tidak di amalkan lagi).” (HR.IBNU MAJAH DARUT QUTHNI)
Kemajuan dan perkembangan zaman merupakan tantangan dalam mengamalkan hukum waris islam. Perubahan dan keragaman sistem kehidupan keluarga dan masyarakat, munculnya pemikirain emansipasi kaum wanita, mengakibatkan timbul suatu pemikiran seolah-olah hukum waris islam tidak mencermirkan rasa keadilan dan tidak lagi relevan dengan kehidupan masa kini. Hal ini mengakibatkan sebagaian umat islam meninggalkan hukum waris islam dan menggantinya dengan hukum adat atau budaya setempat yang menurut anggapan mereka lebih sesuai dengan rasa keadilan. Padahal sebenarnya bukanlah hukum waris islam yang tercantum dalam Al-Quran dan al-hadist tidak sesuai dengan perkembangan zaman tetapi metode pembagian dan penetapan harta warisan hukum islam yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.  
Mengingat pentingnya ilmu faraid tersebut, di samping adanya beberapa masalah khilafiyah dalam ketentuan warisan islam, maka di Indonesia di susun sebuah kompilasi hukum islam yang di ambil dari pendapat pendapat para sahabat dan imam mujtahid dengan merujuk kepada 38 kitab fiqih yang terkenal. Isi dari kompilasi hukum islam ini terdiri dari hukum perkawinan, kewarisan dan hukum pewakafan. Walaupun kompilasi hukum islam ini merupakan instruksi presidan (inpres no. 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991), namun sudah bisa dijadikan pedoman dalam memeriksa,memutuskan, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang beragama islam, di bidang kewarisan, wasiat, dan hibah pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.
Dalam undang-undang nomor 7 tahum1989, pengadilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang dilakukan berdasarkan hukum islam. Bidang kewarisan yang dimaksud ialah menentukan siapa-siapa yangmenjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian peninggalan atau harta warisan.
Hukum warisan di Indonesia telah diakui eksistensinya oleh undang-undang sebagai salah satu hukum pisitif yang mempunyai kekuatan hukum bagi orang-orang yang beragama islam.







BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Pembahasan mengenai hokum kewarisan islam pada dasarnya menyangkut tiga hal pokok yaitu pewaris,ahli waris,dan harta warisan. Ketiga hal pokok itu dapat diklasifikasikan dalam dua kategori hubungan yaitu hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan.
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
B.       Saran
Saran kami sebagai penulis dan penyusun makalah ini, bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, itu dikarenakan kurangnya referensi dan buku kami miliki. Namun, tak ada gading yang tak retak, diharapkan pembaca dapat menambah ilmu dari penyajian makalah kami.






0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 AFIAH. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger