Hujan
turun dengan derasnya, kurapatkan sarung yang sedari tadi menyelimuti tubuh
kumuhku. Hanya ada rintik hujan dan suara binatang yag saling bersahutan malam
ini, tak ada yang lain, hanya itu. Desember basah kali ini membuatku
benar-benar enggan untuk melakukan apa-apa selain meringkuk.
Aku adalah anak Dusun yang tinggal di
Pedalaman, sangat terbelakang malah. Aku memang sudah menjajaki bangku sekolah,
tapi jangan heran jika di dusun ini banyak anak seusiaku yang lebih memilih mengembala
kambing atau ke sungai daripada bersekolah, untunglah dulu Aku memiliki
keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan, itupun berkat pemerintah setempat
yang memberikan bantuan.
Dusun
kecil di pedalaman Watansoppeng ini sangatlah hijau dan tenang. Warga-warganya
masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya moyang kami. Aku masih biasa
melihat setiap malam jum’at para orang tua membakar sabuk kelapa di bawah
tangga rumah panggung mereka, bahkan Aku kadang melihat orang tidak mandi pada
hari tertentu. Aku tak tahu apa yang melatarbelakanginya, Aku tidak terlalu
“ingin” tahu dan malas untuk bertanya kepada Emma’ yang apabila Aku bertanya satu kalimat, Beliau akan
menjawabnya menjadi beberapa paragraf dengan tedeng aling-aling agar Aku juga
mengikutinya sebagai bakti kepada moyang katanya.
Walaupun
ada beberapa hal yang membuatku bertanya-tanya, tapi tak ada alasan untuk
meninggalkan dusun ini. Aku sangat mencintainya, Aku mencintai kokok ayam di
kala subuh, mencintai aliran sungai yang jernih tempatku biasa berkelakar
bersama kawan-kawanku bahkan mencuci jika air di rumah tak mengalir, bahkan
mencintai jalanannya yang masih jauh dari kata bagus. Namun, dari sungai ini
jugalah Aku bertekad meninggalkan dusun ini beberapa tahun yang lalu, semua
bermula dari sungai “Seddo” tersebut.
12 tahun yang lalu
“Husnah,
ayo kita ikuti orang yang baru datang itu!” seru Tamrin sahabat karibku
semenjak kecil. Tamrin mulai berlari menyusuri jalan berbatu itu, Aku yang
tertinggal beberapa meter dibelakangnya akhirnya menyusul untuk berlari juga
dengan penuh semangat. Ya.. kami berlari menyusuri jalanan menuju Sungai Seddo,
sungai ini merupakan sungai yang diandalkan di dusun kami, selain tempat mandi
dan mencuci, sungai ini juga bahkan acap kali didatangi orang dari dusunku
ataupun luar dusun. Ada area di sungai ini yang memang dikhususkan bagi orang
yang ingin berkunjung, apalagi ingin mengadakan tradisi “Manno’ Salo”.
Manno’ Salo’ adalah suatu ritual yang masih
kental di daerahku, di mana orang-orang biasanya membawa makanan yang kemudian
nantinya akan didoakan sebelum dihanyutkan di sungai, acara ini biasanya
dilakukan sebagai tanda syukur setelah melakukan acara seperti akikahan,
pernikahan, atau bahkan pindah rumah. Biasanya yang berkunjung ke sana akan
membawa beberapa makanan siap santap seperti songkolo, ayam, dan telur. Tak hanya itu, biasanya mereka juga
membawa kelapa, buah pinang, daun sirih, dan pisang yang nantinya akan
dihanyutkan di sungai tersebut. Aku yang saat itu masih berumur 9 tahun sangat
senang saat orang-orang berkunjung ke sana, Aku beserta teman-temanku yang
masih sangat nakal dan bebal biasanya akan ikut di belakang orang-orang yang
membawa makanan, dan saat makanan tersebut dihanyutkan, kami akan menyusuri
sungai dan berebut untuk mendapatkan telur, atau bahkan pisang yang bisa kami
langsung makan. Sebenarnya, hal utama yang kami incar adalah uang recehan yang
biasanya diletakkan di atas daun sirih.
“Tamrin,
apakah tak apa kita selalu mengambil makanan yang dihanyutkan di Sungai Seddo?
Apakah penunggunya tak akan marah?” Aku bertanya takut-takut, karena konon di
sungai itu ada penunggunya, begitulah rumor yang beredar di dusunku, apalagi di
kalangan anak-anak seperti kami yang masih gampang termakan hasutan. Tamrin
hanya menengok sebentar kearahku sambil terus mengupas telur yang kami dapat
sore ini. “Kau itu terlalu takut, terlalu termakan omongan Emma’ dan Ambo’mu. Sungai
itu tak ada penunggunya Husna, sungai itu diciptakan untuk tempat bermain kita,
juga tempat mandi dan mencuci orang dusun ini.”
Aku
mendengus “Bukan begitu Tamrin, tapi setiap kali anak-anak berlarian menyusuri
Seddo, Aku selalu merasa ketakutan” Aku kembali mempertegas kalimatku, walaupun
Aku sadar kalau di dalam diriku ketakutan memang mendominasi. Tamrin tertawa
mengejek “hahaha, Husna… kita sedari kecil tinggal di sini, dan tak hal gaib
yang pernah Aku dengar tentang sungai itu. Seddo itu sungai yang cantik Husna,
apalagi diapit gunung serta tebing yang menjulang, semestinya kau bangga dan
menikmatinya.” Aku memilih diam dan berusaha membenarkan omongan Tamrin.
Lagi-lagi Aku menoleh kearahnya, telur hasil buruan kami tadi, semua ludes dimakannya tanpa menyisakannya
untukku, huhh.
Tamrin
adalah teman sepermainanku. Sahabat karibku yang satu ini adalah seorang yang
periang dan sangat jago berlari, jadi jangan heran saat menyusuri sungai
mencari makanan yang dihanyutkan, Dia bisa mendapat bagian yang paling banyak.
Tamrin juga bersekolah sepertiku, tapi sayangnya Dia lebih senang membolos dan
menghabiskan waktunya di sungai bersama teman-temanku yang sejenis dengannya.
Sementara Aku yang perempuan, lebih memilih mendekam di sekolah kalau tak ingin
kena marah Emma’ dan Ambo’ karena bermain di sungai dengan
teman-teman sepermainanku yang rata-rata adalah lelaki. Entah mengapa Tamrin
sangat senang menghabiskan waktunya di sungai itu, Aku tak tahu mengapa.
Hari
ini ada orang di dusun kami yang mengadakan akikahan, dan pasti ada tradisi Manno’
Salo’. Aku yang memang sedari pagi ikut Emma’
yang dipercaya orang kampung untuk memasak sedang bercokol di dekat tumpukan
kayu bakar bersama Tamrin yang sedang asyik main kelereng dengan beberapa
temannya.
“Tamrin,
hari ini kita ke sungai-kan?” Tanya Ali, temanku yang berbadan subur.
“Iya
dong, Pak Husein kan potong kambing, setidaknya kita tidak hanya mengejar
makanan yang sengaja dihanyutkan, tapi kita juga bisa makan makanan yang dibawa
ke sungai.” Tamrin memperbaiki lubang yang dibuatnya dengan menekan batu kuat-kuat.
“Tapi
makanan yang dibawa pasti sedikit, sementara kita kan banyak.” yang lain
menimpali.
“Tenang
saja, kan ada makanan yang sengaja disimpan pastinya.” Tamrin menanggapinya
dengan tenang.
Aku
dan teman-temanku yang lain membelalak kearahnya.
“Hei
Tamrin! Makanan itu sengaja disimpan oleh orang-orang yang Manno’ Salo’. Makanan itu sengaja disimpan di bawah pohon yang
akarnya sangat besar itu, apakah kau tak takut bila penunggunya marah?” Kali
ini Imam menimpali, Aku hanya bisa jadi pendengar yang setia.
“Selama
ini apakah ada orang yang celaka dan hanyut karena sungai itu? Apakah kita tahu
penunggu itu benar-benar memakan sesaji itu? Tak ada yang tahu teman-teman,
lagian ini hanya makanan. Selama ini setiap makanan yang disimpan, pasti akan
habis juga, entah itu karena manusia yang kelaparan, anjing atau binatang
lainnya, atau penunggu seperti yang kau bilang tadi Imam.” Tamrin menjawab
diplomatis. Aku tahu, untuk anak seumurannya, Tamrin memang sangat pintar,
walaupun Ia jarang masuk kelas, tapi nilai-nilainya selalu saja lebih bagus
daripada Aku. Dalam artian lain, Dia itu cerdas.
Anak-anak
yang lain tak ada lagi yang bisa menimpali, mereka semua kembali terhanyut
dengan permainannya, meninggalkanku yang masih bertanya-tanya dalam diam.
Menjelang
sore, saat acara akikahan telah selesai, waktu yang ditunggu-tunggu oleh Tamrin
beserta teman-temannya, tak terkecuali Aku. Aku, kini sudah ada di pinggiran
Seddo, di situ ada tempat khusus bagi orang yang ingin Manno’ Salo’.
Tamrin
sangat antusias sekali sepertinya
“Apakah
kau akan betul-betul mengambil makanan yang disediakan untuk penunggu sungai
ini? Kau sungguh berani Tamrin.” Kataku sambil memainkan pasir sungai
menggambar sesuatu.
“Kalau
ada kenapa tidak?” Tamrin menjawab berani.
“Tapi
itu sudah dikhususkan untuk penunggu sungai ini, Aku sendiri yang mendengar Sanro berkata demikian.” Kataku
menimpali.
“Kau
masih penakut seperti dulu Husna, janganlah terlalu percaya, adat di sini
terlalu mengekang. Aku sendiri kadang jengah dengan segala pamali yang sering orang rumahku katakan padaku saat Aku melakukan
sesuatu yang tidak sesuai dengan adat istiadat dan budaya moyang kita katanya.”
Tamrin lagi-lagi menjawab diplomatis.
Aku mengerjap tak percaya, Aku tak percaya
Tamrin yang berbicara seperti itu tadi. Padahal perkiraanku Dia orang yang
santai dan menganggap adat di dusun kami ini unik, buktinya saja Dia menikmati tradisi
Manno’ Salo ini.
“Kau sungguh berani Tamrin, terlalu
meremehkan!” tegasku, kini mulai berani.
“9 tahun di dusun ini mengajarkanku banyak
hal Husna, Aku sangat mencintai dusun ini. Yang Aku tak suka hanya Pamali atau
adatnya yang kadang tak masuk diakalku, serba tak boleh, serba tak boleh. Tapi
secara keseluruhan Aku mencintainya, lihatlah betapa setianya Aku menunggu
orang yang mengadakan tradisi Manno’ Salo.
Bahkan Aku kebanyakan menghabiskan waktu di sungai ini karena Aku sangat
mencintainya.” Hei.. lihatlah, Tamrin mulai membual, tapi mau tidak mau
omongannya ada benarnya.
“Aku sebagai teman hanya memperingatkan
Tamrin, janganlah Kau terlalu congkak dan menyepelekan sesuatu, kita hanya anak
dusun yang belum tahu apa-apa, kacuping.”
Aku lagi-lagi sok bijak.
Tamrin
hanya tertawa sambil tertawa renyah dan tak memedulikanku, apalagi setelah itu
rombongan orang yang Manno’ Salo
mulai berdatangan, Aku pun mulai mengambil tempat yang strategis menurutku.
Beberapa
hari kemudian
“Tamrin
hilang! Tamrin hilang!”
Teriakan
itu bergema seisi kampung. Sekarang sudah menjelang magrib dan teriakan tadi
memecah keheningan. Aku yang sedang mengambil daun sirih di belakang rumah
tiba-tiba saja tersentak. Aku berlari menghampiri orang-orang tersebut,
bertanya kenapa, bertanya kapan, bertanya bagaimana, tapi mereka juga tak tahu.
Mereka hanya menyampaikan yang didengar orang di rumah Tamrin, sedari pagi
Tamrin yang pamit bermain berhubung hari Minggu, tak pulang-pulang. Padahal
biasanya sebelum magrib Dia sudah berlari menghampiri surau kami untuk salat
berjamaah bersama Ambo’nya.
Perasaanku
mulai tak enak, Aku menangis di pangkuan Emma’,
Beliau tahu betapa akrabnya Aku dengan Tamrin.
“Emma’, kira-kira Tamrin ke mana? Kenapa
belum pulang juga, padahal besok kami sekolah.” Tanyaku terisak.
“Entahlah
Husna, semoga Tamrin baik-baik saja.” Beliau menenangkanku sambil mengusap
lembut rambutku.
Sampai
jam 9 malam orang-orang dusunku belum juga menemukan Tamrin, Aku mulai
mengantuk dan sepertinya sebentar lagi akan tertidur. Sampai Aku mendengar
ribut-ribut. Kulirik jam dinding yang menggantung, masih jam 6 pagi. Tapi Aku
tersentak, pasti ada sesuatu.
Orang-orang
mulai berjalan, bahkan terkesan berlari, Aku segera mengikuti. Aku melihat Emma’ Tamrin berteriak histeris dan
beberapa kerabatnya yang juga menangis. Air mataku tanpa permisi, akhirnya
turun juga, walaupun Aku belum tahu apa yang terjadi.
Temanku
Tamrin, karibku, meninggal dunia. Dia ditemukan sudah tak bernyawa lagi di
hutan dekat dusun kami. Sepertinya Dia terlalu berani untuk datang sendirian ke
tempat itu, padahal di hutan itu banyak sekali binatang buas. Tamrin sudah
membiru saat tiba di rumahnya, yang kudengar Dia digigit ular atau apalah, Aku
tak memedulikannya. Tak ada lagi Tamrin yang selalu ceria, yang pemberani
sekaligus sangat diplomatis, tak ada lagi temanku menyusuri sungai, tak ada
lagi yang mengajakku menuggui orang yang mengadakan tradisi Manno’ Salo. Tamrin kini telah pergi,
temanku yang sangat mencintai Seddo itu akhirnya mendahului Aku dan
teman-temanku yang tak kalah kaget mendengar berita kematian Tamrin. Tapi, satu
yang membuatku lega, setidaknya Tamrin tak meninggal tenggelam di sungai, tak
ditarik oleh penunggu Seddo karena
mulutnya yang sangat lancang.
Masa
kanak-kanakku tak lagi seperti biasanya, walaupun adat dan budaya di dusunku
tak ada yang berubah, tapi Aku merasa hidupku yang berubah.
Suatu
sore, kusengaja menyusuri Seddo seorang diri, karena Tamrin yang biasanya
menemaniku tak lagi ada. Betul kata Tamrin, Seddo itu sangat cantik dan unik.
Gunung dan tebing yang menjulang tinggi bersisian membuat Seddo begitu menawan
karena berdampingan dengan keduanya. Dusun kecilku, mungkin tak akan berubah,
hanya manusianya. Dusunku indahku, mungkin Kecapi dan dendang di musim panen
selalu menjadi penghiasmu. Dusun Seddoku,
Aku tak mungkin melupakanmu, walau Aku beserta Emma’ dan Ambo’ku berniat
pindah ke dusun yang lebih besar. Aku tak tahu apa alasan pastinya, tapi
katanya Ambo’ mendapat pekerjaan yang
lebih baik di luar. Lihatlah Tamrin, Aku sudah mencintai Seddo seperti maumu,
Aku mencintai semua yang ada di sini. Kulihat di seberang sana, ada orang yang
akan mengadakan tradisi Manno’ Salo’.
Mereka yang datang terlihat sibuk dan bergegas menghanyutkan beberapa pisang
dan telur beserta daun sirih. Aku memerhatikannya sejenak, lalu menyeberang,
mencoba menggapai telur dan pisang yang menyusuri sungai. Happ…. Aku
mendapatkannya, dan akhirnya peristiwa itu terulang kembali hari ini. Saat usiaku
sudah 21 tahun, Aku kembali ke sini, ke dusunku yang tak berubah, masih ada
kecapi, masih banyak pamali, dan masih ada tradisi Manno’ Salo’. Hanya satu yang berubah, ketiadaan Tamrin menyusuri Seddo,
kematian Tamrin tak ada hubungannya dengan sungai ini, dan Aku percaya, Manno’ Salo’ hanya tradisi pengungkapan
rasa syukur setelah mengadakan acara seperti akikahan atau pernikahan, atau
mendapat rezeki, tak lebih. Karena tradisi tak akan tergeser, hanya karena
berita yang coba dimiringkan.
Makassar,
15 Januari 2015
Bersama
rinai air langit, 23:08 WITA
0 komentar:
Posting Komentar