Pages

Selasa, 24 Februari 2015

“SEDDO, NYANYIAN USANG YANG ABADI”



Hujan turun dengan derasnya, kurapatkan sarung yang sedari tadi menyelimuti tubuh kumuhku. Hanya ada rintik hujan dan suara binatang yag saling bersahutan malam ini, tak ada yang lain, hanya itu. Desember basah kali ini membuatku benar-benar enggan untuk melakukan apa-apa selain meringkuk.
 Aku adalah anak Dusun yang tinggal di Pedalaman, sangat terbelakang malah. Aku memang sudah menjajaki bangku sekolah, tapi jangan heran jika di dusun ini banyak anak seusiaku yang lebih memilih mengembala kambing atau ke sungai daripada bersekolah, untunglah dulu Aku memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan, itupun berkat pemerintah setempat yang memberikan bantuan.
Dusun kecil di pedalaman Watansoppeng ini sangatlah hijau dan tenang. Warga-warganya masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budaya moyang kami. Aku masih biasa melihat setiap malam jum’at para orang tua membakar sabuk kelapa di bawah tangga rumah panggung mereka, bahkan Aku kadang melihat orang tidak mandi pada hari tertentu. Aku tak tahu apa yang melatarbelakanginya, Aku tidak terlalu “ingin” tahu dan malas untuk bertanya kepada Emma’ yang apabila Aku bertanya satu kalimat, Beliau akan menjawabnya menjadi beberapa paragraf dengan tedeng aling-aling agar Aku juga mengikutinya sebagai bakti kepada moyang katanya.
Walaupun ada beberapa hal yang membuatku bertanya-tanya, tapi tak ada alasan untuk meninggalkan dusun ini. Aku sangat mencintainya, Aku mencintai kokok ayam di kala subuh, mencintai aliran sungai yang jernih tempatku biasa berkelakar bersama kawan-kawanku bahkan mencuci jika air di rumah tak mengalir, bahkan mencintai jalanannya yang masih jauh dari kata bagus. Namun, dari sungai ini jugalah Aku bertekad meninggalkan dusun ini beberapa tahun yang lalu, semua bermula dari sungai “Seddo” tersebut.
12 tahun yang lalu
“Husnah, ayo kita ikuti orang yang baru datang itu!” seru Tamrin sahabat karibku semenjak kecil. Tamrin mulai berlari menyusuri jalan berbatu itu, Aku yang tertinggal beberapa meter dibelakangnya akhirnya menyusul untuk berlari juga dengan penuh semangat. Ya.. kami berlari menyusuri jalanan menuju Sungai Seddo, sungai ini merupakan sungai yang diandalkan di dusun kami, selain tempat mandi dan mencuci, sungai ini juga bahkan acap kali didatangi orang dari dusunku ataupun luar dusun. Ada area di sungai ini yang memang dikhususkan bagi orang yang ingin berkunjung, apalagi ingin mengadakan tradisi “Manno’ Salo”.
 Manno’ Salo’ adalah suatu ritual yang masih kental di daerahku, di mana orang-orang biasanya membawa makanan yang kemudian nantinya akan didoakan sebelum dihanyutkan di sungai, acara ini biasanya dilakukan sebagai tanda syukur setelah melakukan acara seperti akikahan, pernikahan, atau bahkan pindah rumah. Biasanya yang berkunjung ke sana akan membawa beberapa makanan siap santap seperti songkolo, ayam, dan telur. Tak hanya itu, biasanya mereka juga membawa kelapa, buah pinang, daun sirih, dan pisang yang nantinya akan dihanyutkan di sungai tersebut. Aku yang saat itu masih berumur 9 tahun sangat senang saat orang-orang berkunjung ke sana, Aku beserta teman-temanku yang masih sangat nakal dan bebal biasanya akan ikut di belakang orang-orang yang membawa makanan, dan saat makanan tersebut dihanyutkan, kami akan menyusuri sungai dan berebut untuk mendapatkan telur, atau bahkan pisang yang bisa kami langsung makan. Sebenarnya, hal utama yang kami incar adalah uang recehan yang biasanya diletakkan di atas daun sirih.
“Tamrin, apakah tak apa kita selalu mengambil makanan yang dihanyutkan di Sungai Seddo? Apakah penunggunya tak akan marah?” Aku bertanya takut-takut, karena konon di sungai itu ada penunggunya, begitulah rumor yang beredar di dusunku, apalagi di kalangan anak-anak seperti kami yang masih gampang termakan hasutan. Tamrin hanya menengok sebentar kearahku sambil terus mengupas telur yang kami dapat sore ini. “Kau itu terlalu takut, terlalu termakan omongan Emma’ dan Ambo’mu. Sungai itu tak ada penunggunya Husna, sungai itu diciptakan untuk tempat bermain kita, juga tempat mandi dan mencuci orang dusun ini.”
Aku mendengus “Bukan begitu Tamrin, tapi setiap kali anak-anak berlarian menyusuri Seddo, Aku selalu merasa ketakutan” Aku kembali mempertegas kalimatku, walaupun Aku sadar kalau di dalam diriku ketakutan memang mendominasi. Tamrin tertawa mengejek “hahaha, Husna… kita sedari kecil tinggal di sini, dan tak hal gaib yang pernah Aku dengar tentang sungai itu. Seddo itu sungai yang cantik Husna, apalagi diapit gunung serta tebing yang menjulang, semestinya kau bangga dan menikmatinya.” Aku memilih diam dan berusaha membenarkan omongan Tamrin. Lagi-lagi Aku menoleh kearahnya, telur hasil buruan kami tadi,  semua ludes dimakannya tanpa menyisakannya untukku, huhh.
Tamrin adalah teman sepermainanku. Sahabat karibku yang satu ini adalah seorang yang periang dan sangat jago berlari, jadi jangan heran saat menyusuri sungai mencari makanan yang dihanyutkan, Dia bisa mendapat bagian yang paling banyak. Tamrin juga bersekolah sepertiku, tapi sayangnya Dia lebih senang membolos dan menghabiskan waktunya di sungai bersama teman-temanku yang sejenis dengannya. Sementara Aku yang perempuan, lebih memilih mendekam di sekolah kalau tak ingin kena marah Emma’ dan Ambo’ karena bermain di sungai dengan teman-teman sepermainanku yang rata-rata adalah lelaki. Entah mengapa Tamrin sangat senang menghabiskan waktunya di sungai itu, Aku tak tahu mengapa.
Hari ini ada orang di dusun kami yang mengadakan akikahan, dan pasti ada tradisi Manno’ Salo’. Aku yang memang sedari pagi ikut Emma’ yang dipercaya orang kampung untuk memasak sedang bercokol di dekat tumpukan kayu bakar bersama Tamrin yang sedang asyik main kelereng dengan beberapa temannya.
“Tamrin, hari ini kita ke sungai-kan?” Tanya Ali, temanku yang berbadan subur.
“Iya dong, Pak Husein kan potong kambing, setidaknya kita tidak hanya mengejar makanan yang sengaja dihanyutkan, tapi kita juga bisa makan makanan yang dibawa ke sungai.” Tamrin memperbaiki lubang yang dibuatnya dengan menekan batu kuat-kuat.
“Tapi makanan yang dibawa pasti sedikit, sementara kita kan banyak.” yang lain menimpali.
“Tenang saja, kan ada makanan yang sengaja disimpan pastinya.” Tamrin menanggapinya dengan tenang.
Aku dan teman-temanku yang lain membelalak kearahnya.
“Hei Tamrin! Makanan itu sengaja disimpan oleh orang-orang yang Manno’ Salo’. Makanan itu sengaja disimpan di bawah pohon yang akarnya sangat besar itu, apakah kau tak takut bila penunggunya marah?” Kali ini Imam menimpali, Aku hanya bisa jadi pendengar yang setia.
“Selama ini apakah ada orang yang celaka dan hanyut karena sungai itu? Apakah kita tahu penunggu itu benar-benar memakan sesaji itu? Tak ada yang tahu teman-teman, lagian ini hanya makanan. Selama ini setiap makanan yang disimpan, pasti akan habis juga, entah itu karena manusia yang kelaparan, anjing atau binatang lainnya, atau penunggu seperti yang kau bilang tadi Imam.” Tamrin menjawab diplomatis. Aku tahu, untuk anak seumurannya, Tamrin memang sangat pintar, walaupun Ia jarang masuk kelas, tapi nilai-nilainya selalu saja lebih bagus daripada Aku. Dalam artian lain, Dia itu cerdas.
Anak-anak yang lain tak ada lagi yang bisa menimpali, mereka semua kembali terhanyut dengan permainannya, meninggalkanku yang masih bertanya-tanya dalam diam.
Menjelang sore, saat acara akikahan telah selesai, waktu yang ditunggu-tunggu oleh Tamrin beserta teman-temannya, tak terkecuali Aku. Aku, kini sudah ada di pinggiran Seddo, di situ ada tempat khusus bagi orang yang ingin Manno’ Salo’.
Tamrin sangat antusias sekali sepertinya
“Apakah kau akan betul-betul mengambil makanan yang disediakan untuk penunggu sungai ini? Kau sungguh berani Tamrin.” Kataku sambil memainkan pasir sungai menggambar sesuatu.
“Kalau ada kenapa tidak?” Tamrin menjawab berani.
“Tapi itu sudah dikhususkan untuk penunggu sungai ini, Aku sendiri yang mendengar Sanro berkata demikian.” Kataku menimpali.
“Kau masih penakut seperti dulu Husna, janganlah terlalu percaya, adat di sini terlalu mengekang. Aku sendiri kadang jengah dengan segala pamali yang sering orang rumahku katakan padaku saat Aku melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan adat istiadat dan budaya moyang kita katanya.” Tamrin lagi-lagi menjawab diplomatis.
     Aku mengerjap tak percaya, Aku tak percaya Tamrin yang berbicara seperti itu tadi. Padahal perkiraanku Dia orang yang santai dan menganggap adat di dusun kami ini unik, buktinya saja Dia menikmati tradisi Manno’ Salo ini.
     “Kau sungguh berani Tamrin, terlalu meremehkan!” tegasku, kini mulai berani.
     “9 tahun di dusun ini mengajarkanku banyak hal Husna, Aku sangat mencintai dusun ini. Yang Aku tak suka hanya Pamali atau adatnya yang kadang tak masuk diakalku, serba tak boleh, serba tak boleh. Tapi secara keseluruhan Aku mencintainya, lihatlah betapa setianya Aku menunggu orang yang mengadakan tradisi Manno’ Salo. Bahkan Aku kebanyakan menghabiskan waktu di sungai ini karena Aku sangat mencintainya.” Hei.. lihatlah, Tamrin mulai membual, tapi mau tidak mau omongannya ada benarnya.
     “Aku sebagai teman hanya memperingatkan Tamrin, janganlah Kau terlalu congkak dan menyepelekan sesuatu, kita hanya anak dusun yang belum tahu apa-apa, kacuping.” Aku lagi-lagi sok bijak.
Tamrin hanya tertawa sambil tertawa renyah dan tak memedulikanku, apalagi setelah itu rombongan orang yang Manno’ Salo mulai berdatangan, Aku pun mulai mengambil tempat yang strategis menurutku.
Beberapa hari kemudian
“Tamrin hilang! Tamrin hilang!”
Teriakan itu bergema seisi kampung. Sekarang sudah menjelang magrib dan teriakan tadi memecah keheningan. Aku yang sedang mengambil daun sirih di belakang rumah tiba-tiba saja tersentak. Aku berlari menghampiri orang-orang tersebut, bertanya kenapa, bertanya kapan, bertanya bagaimana, tapi mereka juga tak tahu. Mereka hanya menyampaikan yang didengar orang di rumah Tamrin, sedari pagi Tamrin yang pamit bermain berhubung hari Minggu, tak pulang-pulang. Padahal biasanya sebelum magrib Dia sudah berlari menghampiri surau kami untuk salat berjamaah bersama Ambo’nya.
Perasaanku mulai tak enak, Aku menangis di pangkuan Emma’, Beliau tahu betapa akrabnya Aku dengan Tamrin.
Emma’, kira-kira Tamrin ke mana? Kenapa belum pulang juga, padahal besok kami sekolah.” Tanyaku terisak.
“Entahlah Husna, semoga Tamrin baik-baik saja.” Beliau menenangkanku sambil mengusap lembut rambutku.
Sampai jam 9 malam orang-orang dusunku belum juga menemukan Tamrin, Aku mulai mengantuk dan sepertinya sebentar lagi akan tertidur. Sampai Aku mendengar ribut-ribut. Kulirik jam dinding yang menggantung, masih jam 6 pagi. Tapi Aku tersentak, pasti ada sesuatu.
Orang-orang mulai berjalan, bahkan terkesan berlari, Aku segera mengikuti. Aku melihat Emma’ Tamrin berteriak histeris dan beberapa kerabatnya yang juga menangis. Air mataku tanpa permisi, akhirnya turun juga, walaupun Aku belum tahu apa yang terjadi.
Temanku Tamrin, karibku, meninggal dunia. Dia ditemukan sudah tak bernyawa lagi di hutan dekat dusun kami. Sepertinya Dia terlalu berani untuk datang sendirian ke tempat itu, padahal di hutan itu banyak sekali binatang buas. Tamrin sudah membiru saat tiba di rumahnya, yang kudengar Dia digigit ular atau apalah, Aku tak memedulikannya. Tak ada lagi Tamrin yang selalu ceria, yang pemberani sekaligus sangat diplomatis, tak ada lagi temanku menyusuri sungai, tak ada lagi yang mengajakku menuggui orang yang mengadakan tradisi Manno’ Salo. Tamrin kini telah pergi, temanku yang sangat mencintai Seddo itu akhirnya mendahului Aku dan teman-temanku yang tak kalah kaget mendengar berita kematian Tamrin. Tapi, satu yang membuatku lega, setidaknya Tamrin tak meninggal tenggelam di sungai, tak ditarik oleh penunggu Seddo karena mulutnya yang sangat lancang.
Masa kanak-kanakku tak lagi seperti biasanya, walaupun adat dan budaya di dusunku tak ada yang berubah, tapi Aku merasa hidupku yang berubah.
Suatu sore, kusengaja menyusuri Seddo seorang diri, karena Tamrin yang biasanya menemaniku tak lagi ada. Betul kata Tamrin, Seddo itu sangat cantik dan unik. Gunung dan tebing yang menjulang tinggi bersisian membuat Seddo begitu menawan karena berdampingan dengan keduanya. Dusun kecilku, mungkin tak akan berubah, hanya manusianya. Dusunku indahku, mungkin Kecapi dan dendang di musim panen selalu menjadi penghiasmu. Dusun Seddoku, Aku tak mungkin melupakanmu, walau Aku beserta Emma’ dan Ambo’ku berniat pindah ke dusun yang lebih besar. Aku tak tahu apa alasan pastinya, tapi katanya Ambo’  mendapat pekerjaan yang lebih baik di luar. Lihatlah Tamrin, Aku sudah mencintai Seddo seperti maumu, Aku mencintai semua yang ada di sini. Kulihat di seberang sana, ada orang yang akan mengadakan tradisi Manno’ Salo’. Mereka yang datang terlihat sibuk dan bergegas menghanyutkan beberapa pisang dan telur beserta daun sirih. Aku memerhatikannya sejenak, lalu menyeberang, mencoba menggapai telur dan pisang yang menyusuri sungai. Happ…. Aku mendapatkannya, dan akhirnya peristiwa itu terulang kembali hari ini. Saat usiaku sudah 21 tahun, Aku kembali ke sini, ke dusunku yang tak berubah, masih ada kecapi, masih banyak pamali, dan masih ada tradisi Manno’ Salo’. Hanya satu yang berubah, ketiadaan Tamrin menyusuri Seddo, kematian Tamrin tak ada hubungannya dengan sungai ini, dan Aku percaya, Manno’ Salo’ hanya tradisi pengungkapan rasa syukur setelah mengadakan acara seperti akikahan atau pernikahan, atau mendapat rezeki, tak lebih. Karena tradisi tak akan tergeser, hanya karena berita yang coba dimiringkan.



Makassar, 15 Januari 2015
Bersama rinai air langit, 23:08 WITA








0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 AFIAH. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger