Repost 21 Oktober 2011
Forgive me Mother
Kadang kala sesuatu yang kita tak sengaja lakukan akibatnya sangat fatal dan membuat kita tak bisa melupakannya seumur hidup.
Setiap anak menginginkan ibunya bahagia, mereka tak akan mengecewakan orang yang telah melahirkan dan menjaga serta mendidik mereka seutuhnya, dan tidak dicap anak durhaka.
Mungkin itulah yang ada dipikiran segelintir anak, belajar dari
pengalaman sendiri saya bercerita betapa pahitnya hidup ini. Janji tak
akan mengecewakan ibu dan ayah hanya kata-kata belaka. Walaupun
kata-kata tersebut sudah diteguhkan dalam hati tetap saja saya tak bisa
melawan mulut, omongan menang dalam masalah ini. Tapi ada satu peristiwa
yang membuat saya
tak bisa memaafkan diri sendiri, hal yang tak kusengaja tapi tetap saja
menoreh luka dalam jika mengenangnya kembali. Mungkin di depan mereka
saya seorang yang keras kepala dan pembangkang tapi ketahuilah saya
hanya manusia biasa yang bisa tersinggung dan sadar akan kesalahan
sendiri, kesalahan yang tak kuinginkan sama sekali sebelumnya.
Apa
yang bisa diminta seorang balita berusia kira-kira 2 tahun selain ASI,
makanan, mainan, dan kasih sayang. Jika itu cukup mungkin dapat
menyenangkan balita tersebut. Dan itu juga yang saya inginkan dari kedua
orang tua dan keluarga sekitar. Terlahir dengan kedua orang tua yang lumayan sibuk membuatku sering dititipkan di rumah saudara atau nenek. Percayalah bahwa bayi itu mempunyai naluri
kesepian layaknya orang dewasa. Walaupun mereka bayi tapi insting
mereka kuat, jika seorang anak berasal dari keluarga yang sibuk
pertumbuhan anak itu pun tidak akan sama dengan anak seusianya yang
penuh dengan kasih sayang. Bukannya saya kekurangan kasih sayang seperti
halnya yang terjadi di sinetron-sinetron tapi hanya mengingatkan betapa
beruntungnya saya yang masih memiliki keluarga lengkap dibandingkan
dengan mereka yang yatim piatu.
Waktu
kecil saya tinggal di rumah nenek yang kebetulan pada waktu itu listrik
belum ada, jadi setiap malam kami hanya ditemani oleh cahaya
remang-remang sebuah pelita. Ibu sedang sibuk-sibuknya menulis, entah
apa yang beliau tulis. Sedangkan saya bermain, tapi yang namanya bayi
selalu bosan terhadap sesuatu yang sudah sering kali mereka lihat. Kami
berkumpul di ruang tengah, ibu yang sedang sibuk, aku yang sedang
bermain ditemani nenek yang tiduran di sebelahku. Ayah sedang tugas
kerja di luar daerah. Saya yang masih balita sedang ingin menyusu dengan
polosnya mendekati beliau dan menarik kain sarung yang dipakainya.
Merasa tak dipedulikan dan pada dasarnya sedari kecil saya memang anak
yang keras kepala jadi dengan nekatnya memanjat kursi dan naik diatas
meja. Nenek mungkin tak menyadari hal tersebut karena terlihat beliau
yang terlelap dalam tidurnya.
Mungkin
saking sibuknya sampai ibu tak memedulikanku atau menggendongku untuk
lekas pergi dari meja agar tak mengganggu pekerjaannya, saat itu saya
bermain-main diatas meja tepat bersebelahan dengan pelita yang dipakai
ibu sebagai penerangannya untuk menulis.
Tak
disangka-sangka sebelumnya, saya menyenggol pelita tersebut hingga
jatuh pas dipangkuan ibu, refleks minyak tanah yang ada dalam wadah
tumpah dan api menjilat-jilat tubuh beliau. Ibu berteriak panik dan
kepanasan. Sedangkan nenek dengan sigap menggendongku yang sudah
menangis ketakutan, insting anak melihat ibunya berteriak histeris. Ibu
semakin berteriak kepanasan dan kesakitan dan tangisku pun makin
menjadi-jadi.
Saya
tak ingat lagi apa kejadian setelahnya, yang saya ingat pada keesokan
harinya ibu telah berada di rumah sakit didampingi ayah yang duduk di
samping beliau, seluruh tubuh beliau dibalut perban. Mungkin 80% tubuh
Ibu terbakar. Saya yang belum tahu apa-apa hanya bisa menangis
dipangkuan nenek. Saya telah membuat kesalahan besar. Merusak tubuh
mulus beliau dan menjadikannya melepuh dan kehitaman, tapi satu yang
masih bisa saya syukuri, beliau masih ada sampai sekarang. Masih setia
menemani dalam tiap langkah anak-anaknya, masih sering memarahi
anak-anaknya, masih tersenyum dan tertawa melihat tingkah anak-anaknya
yang kadang menggelitik perut, masih mencari nafkah untuk anak-anaknya,
masih bersabar melihat anak-anaknya yang nakal dan keras kepala, masih
mendoakan anak dan keluarga disetiap doanya, dan selalu menangis jika
melihat dan membayangkan kembali kelakuan anak-anaknya yang membuat
hatinya sakit.
Rasa
perih dalam hati, dan rasa bersalahku makin bertambah saat orang lain
menceritakan hal tersebut kepadaku. Seakan menyalahkan. Tapi ibu seperti
meyembunyikan hal tersebut kepadaku, tak pernah mengungkit-ungkitnya,
dan tak pernah menyalahkanku atas peristiwa itu, beliau sungguh berhati
malaikat.
Ibu…
maafkan aku anakmu yang penuh dosa ini, kalau bisa jujur saya merasa
sangat bersalah atas kejadian tersebut dan membuat kulit ibu tak bisa
normal lagi seperti dulu dan tak akan pernah melupakan peristiwa
tersebut seumur hidup. Saya tidak mau dicap anak yang telah membakar
Ibunya. Saya memang anak yang keras kepala dan sering kali membuat ibu
menangis tapi ketahuilah saya sayang ibu, sangat sayang. Maafkan aku
Ibu…. Aku sayang Ibu J.
Mungkin
saat ini saya masih anak yang keras kepala dan kadang kala melawanmu,
tapi ketahuilah di dasar hatiku yang yang paling dalam tersimpan harapan
besar untuk melawan itu semua, dan kelak kau akan tersenyum melihatku
seperti apa yang engkau inginkan.
0 komentar:
Posting Komentar