Pages

Kamis, 06 November 2014

“SEONGGOK CERITA SI PEMUNGUT SAMPAH”

repost 2012

“SEONGGOK CERITA SI PEMUNGUT SAMPAH”

Posted by aafiahhhh on 23.11

Tubuh kurus tinggi menjulang, sepasang mata yang juling, kulit yang keriput, gigi-giginya yang jarang, serta senyum mengerikan yang selalu menghiasi wajahnya. Itulah gambaran dari Pak Ahmad. Laki-laki paruh baya yang tinggal di pinggiran sungai dekat rumahku. Dia selalu ceria, tersenyum walaupun aku dapat menangkap kepedihan mendalam di manik matanya. dia selalu dihina dan direndahkan, tapi dia menerima semua itu dengan senyum. Anak-anak sekitar rumahku sering memanggil Pak Ahmad dengan julukan “monster juling”. Sore itu aku melihat Pak Ahmad duduk diam di pinggir sungai dekat gubuknya. Dia memandangi sungai sangat lama, sampai aku pun berpikiran usil. Sebenarnya Pak Ahmad memandangi sungai atau memandangi Ibu Surti?”. Hahahaha, tapi segera kuenyahkan pikiran konyol itu saat mengetahui Ibu kini memandangku dengan alis bertaut, mungkin beliau mulai berpikir Putri sulungnya ini sedang mengalami gangguan.
Hari ini cuaca panas sekali, matahari sepertinya sedang melakukan inovasi ingin membuat makhluk bumi hitam dalam waktu singkat. Kuseret langkahku menuju rumah dengan gontai, tapi pemandangan di depanku membuat tubuhku menjadi tegak. Pak Ahmad sedang mengais sampah-sampah di sungai. Dia terlihat begitu serius, hingga tak sadar akan kehadiranku. Tangannya yang keriput mengangkat sampah-sampah itu ke pinggiran sungai. Padahal seingatku sampah-sampah di sungai itu sangat banyak, sungai itu tak pernah bersih karena para warga sekitar kompleks lebih memililih membuang sampah-sampah ke sungai dibanding membakar atau menguburnya. Dan aku malu mengakui itu, Keluargaku pun demikian, lebih memilih membuang sampah ke sungai. Sementara pemerintah sepertinya tak acuh dengan kehidupan kami. “Pak Ahmad lagi apa?” tanyaku mengagetkan. Dia berbalik memandangku sejenak lalu tersenyum. “ehh Ashilla, Bapak sedang membersihkan sungai ini, bapak ingin sungai ini bisa bersih” katanya datar. Aku tercekat, “Bapak sungguh-sungguh? Apa Bapak tak lihat begitu banyak sampah?, mustahil Pak!” kataku meremehkan, karena memang sangat mustahil untuk melakukan semua itu. Dia tak membalas ucapanku, Pak Ahmad kembali sibuk mengumpulkan sampah-sampah itu dan tak mengacuhkanku. Sial pikirku.
Aku bersungut-sungut sepanjang jalan, merasa tak diacuhkan. Mentang-mentang aku hanya anak 1 SMA yang tak tahu apa-apa, kusentakkan kaki masuk rumah. “aku pulang” teriakku nyaring yang dibalas Ibu dengan teriakan juga memperingatiku agar tak berteriak seenak hati, aku kembali kesal. Sepertinya hari ini hidupku penuh kesialan. Kupandangi luar jendela dan mataku pun tertumbuk pada sosok Pak Ahmad yang duduk di pinggiran sungai, sepertinya dia begitu lelah. Mulutnya yang pecah-pecah kini tampah parah saja. Pak Ahmad itu terlalu baik untuk jadi orang yang teraniaya. Disaat dia niat membantu, para warga malah mencemoohnya. Pak Ahmad yang selama hidupnya tak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan, hidup sebatang kara di gubuk reyot, dan tak ada satupun sanak keluarga yang rela menemaninya. Andai aku jadi dia, mungkin aku akan melakukan segala cara untuk mengakhiri hidupku yang malang itu. Tapi tidak dengan dia, dia dengan senyum terus menghadapi hidup, walaupun sakit sebenarnya hidup diantara orang-orang yang menganggap kita tak ada. Tapi dia berbeda, dia adalah sosok yang begitu tegar, berusaha senyum walaupun sakit, berusaha sabar ketika dihina, dan bertahan hidup di kerasnya ibukota. Air mataku menetes, membuat genangan kecil. Aku menangisi seorang yang tak dianggap, emosi benar-benar meluluhlantahkan hatiku.
Saat menyadari orang-orang di sekelilingmu tak pedulikanmu, apa yang kau perbuat?.
“heii Pak Ahmad, apa kau ingin jadi pahlawan kesiangan? Tidak ada pekerjaan lain sehingga kau berusaha membersihkan sungai? Hhe..” teriak Pak Surya yang terkenal suka mencampuri urusan orang itu. Pak Ahmad berbalik, matanya yang juling memandang ke arah Pak Surya. Dia lalu tersenyum, hanya sebentar. Lalu melanjutkan lagi pekerjaannya. “dasar orang gila, monster jelek!” maki Pak Surya kasar. Pak Ahmad hanya mengelus dada, sementara orang-yang menyaksikan itu memandang Pak Ahmad penuh ekspresi, ada yang menatap iba, menatap jijik, bahkan ada yang melempari Pak Ahmad dengan sampah.
“Shilla, buang sampah yang ada di dapur!”. Aku segera melangkah ke belakang dan menuju sungai. Tapi lagi-lagi aku menyaksikan pemandangan yang membuat perasaanku campur aduk. Pak Ahmad memunguti satu persatu sampah-sampah yang begitu banyak, dengan bau yang menusuk hidung siapapun. Sampah itu hanya buangan masyarakat, tapi mengapa orang ini melakukan hal bodoh yang membuat dirinya makin direndahkan, pikirku. “Nak Shilla mau buang sampah?” tanyanya dengan suaranya yang begitu berat. Aku mengangguk mengiyakan “ya sudah buang di sana saja yah” katanya menunjuk tumpukan sampah yang telah dipungutinya satu persatu, aku menurut. “apa Pak Ahmad tidak merasa sia-sia melakukan ini semua, memunguti sampah satu persatu, lalu menumpuknya, mau  dibawa kemana sampah-sampah itu pak? Tanyaku ikut membantunya memunguti sampah yang tertiup angin, semerbak bau menusuk hidung tercium. “Bapak tidak pernah merasa sia-sia, semua orang bisa bermimpi kan nak? Dan inilah salah satu mimpi bapak dari sekian banyak mimpi-mimpi yang tak sempat terwujud” dia mengatakannya dengan tenang, seolah tak ada beban yang menghimpit dadanya. Aku tidak mengerti dengan ucapannya, kuperhatikan laki-laki di depanku ini. Tubuhnya kini makin menghitam, kulitnya juga makin kasar, jalannya mulai membungkuk, dan yang makin membuatku terenyuh adalah tekadnya yang selalu dianggap rendah.
Sudah sebulan ini Pak Ahmad melakukan aktivitasnya, sungai itu memang terlihat agak mendingan sebelum dibersihkan, senyum Pak Ahmad semakin merekah atas hasil kerjanya. Namun pil pahit kehidupan harus selalu ditelannya bulat-bulat, tiap hati Ia harus mengadapi berbagai celaan dari warga sekitar yang merasa terganggu dengan aksi Pak Ahmad. Aku sendiri? Aku masih tetap pada pendirianku, tak membela siapapun. Walaupun aku tahu dalam hatiku aku lebih tertarik dengan aksi Pak Ahmad.
Sungai yang setiap tahunnya banjir, sungai yang selama 16 tahun aku hidup tak pernah berubah, tetap saja tercemar oleh buangan masyarakat, sungai yang menjadi tempat bermainnya anak-anak kecil sekitar rumahku, sungai yang menjadi impian Pak Ahmad, dan sungai itu pulalah yang nantinya akan membawa petaka.
Aku berjalan sambil mengkhayal, masih mengingat kata-kata guru Agamaku yang begitu membekas. “semua orang itu punya mimpi, punya impian. Dan untuk menggapai impian itu tidaklah mudah, butuh perjuangan. Apakah kalian pernah melihat anak jalanan yang mengemis di lampu merah? Mereka semua punya impian, mungkin hanya impian kecil tapi sangat bermakna. Mungkin impian mereka hanyalah satu “ ya Allah semoga hari ini banyak yang peduli padaku, banyak yang mengasihiku walaupun sebenarnya aku tak mau dikasihani” sangat sederhana tapi itulah impian seorang pengemis. Jadi anak-anak janganlah merusak hidup kalian dengan menghalangi impian seseorang, jadilah pribadi yang bijak dalam mengambil keputusan”. Tiba-tiba aku teringat akan Pak Ahmad yang selama beberapa hari ini tak mengais dan memunguti sampah-sampah di sungai, kemana dia? Kataku bertanya-tanya. Langkahku terhenti di pinggiran sungai, Pak Ahmad benar-benar tak tampak, padahal biasanya kalau jam segini dia suah serius memungut sampah di bawah terik matahari.
“Bu, Pak Ahmad kemana yah, kok Shilla gag pernah liat dia lagi?” tanyaku saat kami sedang makan siang, Ibu hanya menggeleng yang membuatku semakin nelangsa. Ibu memang terkadang terlalu cuek dengan dengan berbagai kejadian yang ada di sekitarnya, berbeda dengan aku yang selalu ingin tahu. Merasa tak mendapat kepuasan dari jawaban Ibu, aku segera ke kamar.
Sungai itu kini tak berpenghuni, bahkan sampah pun enggan untuk menghampiri, sungai itu tiada lagi yang punya. Kemana Pak Ahmad?. Gubuknya pun semakin reyot saja, seingatku aku belum pernah sekalipun mengijakkan kaki di gubuknya yang berada tak jauh dari tempatnya selalu memungut sampah. Tapi di sore itu, entah mendapat kekuatan dari mana aku ingin sekali pergi kesana. Bermodalkan tekad aku pun kini sudah berada di depan gubuk ini. Tak ada siapa-siapa, hanya semilir angin dan bau tak sedap yang segera menyergap hidungku. Pak Ahmad yang selama ini tidak mempunyai teman, membuat dirinya tak bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki hidupnya. “Assalamu Alaikum” sapaku, tapi tak ada jawaban, kuberanikan diri untuk membuka pintu utama. Pintu itu berdecit nyaring memekakkan telingaku, tapi yang membuat aku makin terenyuh adalah pemandangan di depan mataku. Orang yang selama ini membuatku bertanya-tanya tergolek tak berdaya di atas sebuah ranjang dengan keadaan yang begitu mengenaskan menurutku. Dia begitu kurus, ohh kemana Pak Ahmad yang selama ini selalu semangat menjalani hidup?. Aku berteriak panik, lalu berlari ke hadapannya. Masih dengan tampang panik, aku kembali menangis untuknya, untuk orang secara diam-diam kukagumi atas aksi-aksinya. Dia terbangun, memandangku, lalu tersenyum. “Nak Shilla ngapain kesini?” katanya dengan susah payah, aku hanya bisa membatu di tempatku. “Bapak kenapa?” kataku akhirnya. Dia hanya tersenyum lemah lalu menjawab pertanyaanku dengan susah payah. Aku benar-benar menangis, merasa bisa merasakan penderitaan bapak paruh baya ini. Dia menderita kanker otak, juga komplikasi hingga dia hanya bisa tergolek lemah seperti ini. “cukup sudah Bapak dipandang lemah oleh orang-orang, tapi kali ini biarlah Bapak pergi dengan tenang tanpa perlu dihina” aku melihat butiran kristal keluar dari sana, ya.. dia menangis. Dan baru kali ini aku melihat lelaki yang kukenal kuat itu menangis. Pak Ahmad lalu memberiku sebuah buku tulis yang kusut, mungkin sekusut hatiku saat ini. Aku tak tahu apa isinya yang pastinya sangat berharga karena dalam keadaan sakit pun dia masih menulisinya. Dia kini menutup mata, membentangkan jarak fiktif antara aku dan dirinya. Meregang nyawa menyambut dunia baru yang ada dihadapnya.
Di sinilah aku sekarang, di pinggiran sungai memandang sungai yang sampahnya tak sebanyak dulu lagi. Pak Ahmad benar-benar berhasil mewujudkan impiannya. di tanganku kini ada sebuah buku yang menjadi catatan seorang Pak Ahmad. Dia benar-benar mengajariku arti hidup. Tak pernah kusangka sebelumnya Pak Ahmad mempunyai impian yang begitu banyak. Di halaman pertama tertulis ”aku ingin semua orang mencintaiku dan tak memandangku sebelah mata” sebuah permintaan sederhana namun sangat susah untuk beliau. Di halaman kedua tertulis “aku ingin bermanfaat bagi semua orang, aku ingin membersihkan sungai yang ada di depan gubukku agar tak ada yang terkena imbasnya”, yang sukses membuatku menitikkan air mata. Dihalaman-halaman berikutnya dia menulis segala mimpi dan impiannya. mulai dari ingin membuat rumah yang megah, ingin punya baju lebaran, ingin ke rumah sakit mengobati penyakitnya, dan yang paling membuatku terenyuh di halaman terakhir. “aku ingin meninggalkan dunia ini dengan tenang, aku sudah mewujudkan satu mimpiku, mimpi yang konyol namun sangat berarti bagiku” ditulis acak-acakan, dan ada noda darah di sana. Aku tahu mimpi apa itu, kembali aku menelusuri apa yang ada di hadapku. Inilah satu-satunya mimpi Pak Ahmad yang tersisa dan bisa terwujud walaupun tak sepenuhnya. Dialah yang mengajariku memaknai hidup, memaknai impian, dan mengajariku betapa keras hidup ini. Sungai ini benar-benar tak berpenghuni, hanya angin yang menemaniku, bahkan sampah pun kini enggan terbang menghampiriku. Kulangkahkan kaki meninggalkan tempat ini, aku harap kau bahagia disisinya. Selamat jalan Pak Ahmad J.

0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 AFIAH. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger