SEIKAT
MAAF UNTUK IBU
Dia masih
tersenyum seperti biasa. Masih hangat dan menenangkan layaknya malaikat. Dia
masih memarahiku dan adiku-adikku, bahkan menangis jika kesalahan anak-anaknya
sudah sangat melukainya.
Mungkin hanya
maaf yang bisa kuucap untuk dirinya yang selalu ada buatku, maaf pernah
membuatmu terluka, bahkan luka fisik yang masih membekas sampai sekarang. Aku
tak ingat secara pasti bagaimana caranya aku yang sekecil itu bisa membuatmu
terluka seperti itu, tapi aku tetap merasa bersalah walaupun kau tak pernah
memarahiku atau mengungkit-ungkit semuanya yang membuatmu terluka bahkan sampai
berbulan-bulan lamanya.
Waktu
kecil, Aku tinggal di rumah nenek yang kebetulan pada waktu itu listrik belum
ada, jadi setiap malam kami hanya ditemani oleh cahaya remang-remang sebuah
pelita. Ibu sedang sibuk-sibuknya menulis, entah apa yang beliau tulis.
Sedangkan Aku bermain, tapi yang namanya bayi selalu bosan terhadap sesuatu
yang sudah sering kali mereka lihat. Kami berkumpul di ruang tengah, ibu yang sedang
sibuk dan Aku yang sedang bermain ditemani nenek yang tiduran di sebelahku, Ayahku
sedang tugas kerja di luar daerah. Aku yang masih balita sedang ingin menyusu
dengan polosnya mendekati beliau dan menarik kain sarung yang dipakainya, pada
saat itu Ibu hanya berkalung sarung untuk menutupi tubuhnya. Merasa tak
dipedulikan dan pada dasarnya sedari kecil Aku memang anak yang keras kepala
jadi dengan nekatnya memanjat kursi dan naik di atas meja. Nenek mungkin tak
menyadari hal tersebut karena terlihat beliau yang terlelap dalam tidurnya.
Saking
sibuknya sampai ibu tak memedulikanku atau menggendongku untuk lekas pergi dari
meja agar tak mengganggu pekerjaannya, saat itu Aku bermain-main diatas meja
tepat bersebelahan dengan pelita yang dipakai ibu sebagai penerangannya untuk menulis.
Tak disangka-sangka sebelumnya, Aku menyenggol pelita tersebut hingga jatuh pas
dipangkuan ibu, refleks minyak tanah yang ada dalam wadah tumpah dan api
menjilat-jilat tubuh beliau. Ibu berteriak panik dan kepanasan. Sedangkan nenek
dengan sigap menggendongku yang sudah menangis ketakutan, insting anak melihat
ibunya berteriak histeris. Ibu semakin berteriak kepanasan dan kesakitan dan
tangisku pun makin menjadi-jadi.
Aku
tak ingat lagi apa kejadian setelahnya, yang Aku ingat pada keesokan harinya
ibu telah berada di rumah sakit didampingi ayah yang duduk di samping beliau,
seluruh tubuh beliau dibalut perban. Mungkin 80% tubuh Ibu terbakar. Aku yang
belum tahu apa-apa hanya bisa menangis di pangkuan nenek. Aku telah membuat
kesalahan besar. Merusak tubuh mulus beliau dan menjadikannya melepuh dan
kehitaman, selain itu rambutnya habis terbakar oleh api. Tapi satu yang masih bisa Aku syukuri, beliau
masih ada sampai sekarang. Masih setia menemani dalam tiap langkah anak-anaknya,
masih sering memarahi anak-anaknya, masih tersenyum dan tertawa melihat tingkah
anak-anaknya yang kadang menggelitik perut, masih mencari nafkah untuk
anak-anaknya, masih bersabar melihat anak-anaknya yang nakal dan keras kepala,
masih mendoakan anak dan keluarga di setiap doanya, dan selalu menangis jika
melihat dan membayangkan kembali kelakuan anak-anaknya yang membuat hatinya
sakit.
Rasa
perih dalam hati, dan rasa bersalahku makin bertambah saat orang lain
menceritakan hal tersebut kepadaku. Seakan menyalahkan. Tapi ibu seperti meyembunyikan
hal tersebut, tak pernah mengungkit-ungkitnya dan tak pernah menyalahkanku atas
peristiwa itu, beliau sungguh berhati malaikat. Aku juga baru tahu lama setelah
kejadian itu berlangsung bahwa pada saat kejadian nahas itu, Ibu sedang
mengandung adikku yang kedua, tapi alhamdulillah adikku lahir dengan selamat.
Ibu…
maafkan anakmu yang penuh dosa ini,
kalau bisa jujur Aku merasa sangat bersalah atas kejadian tersebut dan membuat
kulit ibu tak bisa normal lagi seperti dulu dan tak akan pernah melupakan
peristiwa tersebut seumur hidup. Aku tidak mau dicap anak yang telah membakar
Ibunya. Aku memang anak yang keras kepala dan sering kali membuat ibu menangis
tapi ketahuilah Aku sangat mencintai ibu.
Mungkin
saat ini Aku masih anak yang keras kepala dan kadang kala melawanmu, tapi
ketahuilah di dasar hatiku yang paling dalam tersimpan harapan besar untuk
melawan itu semua, dan kelak kau akan tersenyum melihatku seperti apa yang
engkau inginkan. Semoga.