Pages

Selasa, 10 Maret 2015

SEIKAT MAAF UNTUK IBU

SEIKAT MAAF UNTUK IBU
Dia masih tersenyum seperti biasa. Masih hangat dan menenangkan layaknya malaikat. Dia masih memarahiku dan adiku-adikku, bahkan menangis jika kesalahan anak-anaknya sudah sangat melukainya.
Mungkin hanya maaf yang bisa kuucap untuk dirinya yang selalu ada buatku, maaf pernah membuatmu terluka, bahkan luka fisik yang masih membekas sampai sekarang. Aku tak ingat secara pasti bagaimana caranya aku yang sekecil itu bisa membuatmu terluka seperti itu, tapi aku tetap merasa bersalah walaupun kau tak pernah memarahiku atau mengungkit-ungkit semuanya yang membuatmu terluka bahkan sampai berbulan-bulan lamanya.
Waktu kecil, Aku tinggal di rumah nenek yang kebetulan pada waktu itu listrik belum ada, jadi setiap malam kami hanya ditemani oleh cahaya remang-remang sebuah pelita. Ibu sedang sibuk-sibuknya menulis, entah apa yang beliau tulis. Sedangkan Aku bermain, tapi yang namanya bayi selalu bosan terhadap sesuatu yang sudah sering kali mereka lihat. Kami berkumpul di ruang tengah, ibu yang sedang sibuk dan Aku yang sedang bermain ditemani nenek yang tiduran di sebelahku, Ayahku sedang tugas kerja di luar daerah. Aku yang masih balita sedang ingin menyusu dengan polosnya mendekati beliau dan menarik kain sarung yang dipakainya, pada saat itu Ibu hanya berkalung sarung untuk menutupi tubuhnya. Merasa tak dipedulikan dan pada dasarnya sedari kecil Aku memang anak yang keras kepala jadi dengan nekatnya memanjat kursi dan naik di atas meja. Nenek mungkin tak menyadari hal tersebut karena terlihat beliau yang terlelap dalam tidurnya.
Saking sibuknya sampai ibu tak memedulikanku atau menggendongku untuk lekas pergi dari meja agar tak mengganggu pekerjaannya, saat itu Aku bermain-main diatas meja tepat bersebelahan dengan pelita yang dipakai ibu sebagai penerangannya untuk menulis. Tak disangka-sangka sebelumnya, Aku menyenggol pelita tersebut hingga jatuh pas dipangkuan ibu, refleks minyak tanah yang ada dalam wadah tumpah dan api menjilat-jilat tubuh beliau. Ibu berteriak panik dan kepanasan. Sedangkan nenek dengan sigap menggendongku yang sudah menangis ketakutan, insting anak melihat ibunya berteriak histeris. Ibu semakin berteriak kepanasan dan kesakitan dan tangisku pun makin menjadi-jadi.
Aku tak ingat lagi apa kejadian setelahnya, yang Aku ingat pada keesokan harinya ibu telah berada di rumah sakit didampingi ayah yang duduk di samping beliau, seluruh tubuh beliau dibalut perban. Mungkin 80% tubuh Ibu terbakar. Aku yang belum tahu apa-apa hanya bisa menangis di pangkuan nenek. Aku telah membuat kesalahan besar. Merusak tubuh mulus beliau dan menjadikannya melepuh dan kehitaman, selain itu rambutnya habis terbakar oleh api.  Tapi satu yang masih bisa Aku syukuri, beliau masih ada sampai sekarang. Masih setia menemani dalam tiap langkah anak-anaknya, masih sering memarahi anak-anaknya, masih tersenyum dan tertawa melihat tingkah anak-anaknya yang kadang menggelitik perut, masih mencari nafkah untuk anak-anaknya, masih bersabar melihat anak-anaknya yang nakal dan keras kepala, masih mendoakan anak dan keluarga di setiap doanya, dan selalu menangis jika melihat dan membayangkan kembali kelakuan anak-anaknya yang membuat hatinya sakit.
Rasa perih dalam hati, dan rasa bersalahku makin bertambah saat orang lain menceritakan hal tersebut kepadaku. Seakan menyalahkan. Tapi ibu seperti meyembunyikan hal tersebut, tak pernah mengungkit-ungkitnya dan tak pernah menyalahkanku atas peristiwa itu, beliau sungguh berhati malaikat. Aku juga baru tahu lama setelah kejadian itu berlangsung bahwa pada saat kejadian nahas itu, Ibu sedang mengandung adikku yang kedua, tapi alhamdulillah adikku lahir dengan selamat.
Ibu… maafkan  anakmu yang penuh dosa ini, kalau bisa jujur Aku merasa sangat bersalah atas kejadian tersebut dan membuat kulit ibu tak bisa normal lagi seperti dulu dan tak akan pernah melupakan peristiwa tersebut seumur hidup. Aku tidak mau dicap anak yang telah membakar Ibunya. Aku memang anak yang keras kepala dan sering kali membuat ibu menangis tapi ketahuilah Aku sangat mencintai ibu.
Mungkin saat ini Aku masih anak yang keras kepala dan kadang kala melawanmu, tapi ketahuilah di dasar hatiku yang paling dalam tersimpan harapan besar untuk melawan itu semua, dan kelak kau akan tersenyum melihatku seperti apa yang engkau inginkan. Semoga.




0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 AFIAH. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger