Analisis Dimensi Sosiologi pada
Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari
A. Latar
Belakang
Secara umum, sastra
mencakup dua bidang, yakni bidang karya sastra dan bidang ilmu sastra. Kedua
bidang tersebut saling berkait. Karya sastra muncul lebih dahulu dibandingkan
ilmu sastra. Dengan kata lain ilmu sastra muncul setelah ada karya sastra. Ilmu
sastra ada karena adanya karya sastra.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya
(Ismanto, 2003: 59). Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghaslkan pandangan
dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya
sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu. Sebuah karya sastra merupakan
hasil refleksi dari berbagai bidang kehidupan sehingga menghasilkan sesuatu
yang bernilai seni sekaligus bernilai jual.
Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel fenomenal
di mana di dalamnya ada unsur adat istiadat yang masih sangat kental, penokohan
yang dibuat sedetail mungkin, hingga lingkungan yang dibuat sehidup mungkin. Di
Novelnya kali ini, Ahmad Tohari menggunakan kata-kata kasar dan tak senonoh
untuk menambah kesan hidup pada karakter dan lingkungannya. Dukuh Paruk sebagai sebuah gerumbuk kecil di
tengah padang yang amat luas. Dengan daerah pemukiman terdekat, Dukuh Paruk
hanya dihubungkan oleh jaringan pematang sawah, hamper dua kilometer
panjangnya. Dukuh Paruk, kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk yang menciptakan
kehidupannya sendiri (Ronggeng Dukuh Paruk, hal 4, format Pdf). Di situ
tergambar jelas unsur lingkungan sosialnya yang masih terbelakang dan anti
sosial. Tak hanya itu penggalan di atas diperkuat dengan kalimat selanjutnya, Dua
puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan.
Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang
bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan
riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala
menitipkan darah dagingnya (Ronggeng Dukuh Paruk, hal 4 format Pdf) yang menambah kesan, betapa pandangan hidup orang Dukuh Paruk sangat
berbeda dengan orang-orang di luar Dukuhnya.
Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang
menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang bernama Srintil. Novel ini
berlatar tempat di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk merupakan sebuah kampung terpencil
yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Dawuhan. Sedangkan, latar waktunya
adalah sekitar tahun 1965-an.
Srintil konon adalah titisan dari moyangnya sehingga tanpa kursuspun bahkan
sampai menutup mata sekalipun Dia bisa menari dengan baik dan kenes (lincah dan
menawan hati). Srintil yang masih belia (11 tahun) diperlakukan dengan baik
bahkan dipuji oleh orang-orang didesanya, tanpa orang-orang tersebut tahu,
Srintil harus menanggung beban berat dipundaknya untuk menjadi seorang Ronggeng
Dukuh Paruk. Novel ini tak banyak mengambil latar di luar Dukuh Paruk.
Selain itu ada
pula Rasus yang sangat mengagumi Srintil dan membayangkan sosok Emak (Ibu) yang
tak Dia ingat wajahnya itu ada pada diri Srintil yang anggun dan cantik. Namun
Rasus sepertinya harus menelan pil kekecewaan saat Kartareja sebagai orang yang
dituakan dan dihormati di Dukuh Paruk membuat hilang akal sehatnya. Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu
syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri
bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah
semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah
keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang
ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. Keperawanan
Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! Pikirku (Ronggeng Dukuh
Paruk, hal 46, format Pdf). Secara tidak langsung Kartareja sedang mengadakan
jual beli Srintil kepada pemuda-pemuda berduit dan hidung belang di luar sana.
Dimensi sosiologi (meliputi latar
belakang kemasyarakatan misalnya status sosial, pendidikan, pekerjaan,
peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dan
sebagainya) novel Ronggeng
Dukuh Paruk sangat bisa dirasakan dan terkesan hidup, walaupun tak dapat
dipungkiri dimensi fisiologi dan dimensi psikologi juga sangat berperan. Maka
dari itu, penulis tertarik mengangkat judul Analisis Dimensi Sosiologi
Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dengan
demikian dirumuskan permasalahan dalam analisis adalah, bagaimana dimensi
sosiologi, dalam hal ini latar belakang kemasyarakatan (pendidikan, pekerjaan,
peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hingga
kesenangan) orang-orang Dukuh Paruk dalam menjalani kehidupan sehari-hari
seperti yang digambarkan Ahmad Tohari?
C. Tujuan
Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui dimensi sosiologi, dalam hal ini latar
belakang kemasyarakatan (pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat,
kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hingga kesenangan) orang-orang Dukuh
Paruk dalam menjalani kehidupan sehari-hari seperti yang digambarkan Ahmad
Tohari.
D. Manfaat
penelitian
1.
Manfaat
Praktis
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari patut menjadi bahan
pembelajaran dan pertimbangan yang baik dalam dunia pembelajaran maupun dunia
sastra yang luas, walaupun ada beberapa kata cabul didalamnya tapi tak
melunturkan nilai memikat dari penyampain Ahmad Tohari yang mebgitu luwes. Dengan
membaca novel tersebut khususnya mendalami dimensi sosiologi novel Ronggeng
Dukuh Paruk, pembaca sekalian dapat merasakan lingkungan adat yang luar biasa
serta pembelajaran yang tak kalah menarik yang termuat didalamnya.
2.
Bagi
Teoteris
Manfaat teoretis dari skripsi ini yaitu, memeroleh pengetahuan baru tentang dimensi sosiologi
novel Ronggeng Dukuh Paruk, selain itu penulis juga menyadari banyak hal di
luar sana yang sangat istimewa tapi kadang terlupakan, yaitu adat dan budaya.
Membaca langsung novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari seakan menarik
penulis ke tahun 1965, latar pada novel ini yang oenuh intrik mistis hingga
pertikaian dan kematian. Selain itu, memberi dorongan kepada peneliti
selanjutnya untuk melaksanakan penelitian sejenisnya.